Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Politik dari FISIP Universitas Airlangga (Unair), Haryadi menjelaskan, di balik konflik KPK vs Polri dan Hasto Kristiyanto vs Abraham tumbuh berkah, yakni tumbuhnya kembali kesadaran publik bahwa ada perbedaan antara komisioner KPK dengan KPK sebagai lembaga.
"Kelihatannya sepele, tapi maknanya dalam sekali. Karena selama delapan tahun belakangan ada pengeliruan (falsifikasi) makna, yaitu komisioner KPK dianggap sebagai lembaga KPK itu sendiri," kata Haryadi kepada wartawan Kamis (12/2/2015).
Haryadi menuturkan, seolah kualitas dan keberadaan lembaga KPK inheren dengan kualitas dan keberadaan komisionernya. "Seolah kalau komisionernya cacat etik dan korup, maka lembaga KPK juga cacat etik dan dan korup," jelasnya.
Pengeliruan makna semacam itulah, kata dia, yang secara perlahan menjadikan komisioner KPK dianggap tak pernah bisa berbuat salah. "Jika pun komisioner melakukan tindakan 'korupsi politik', maka itu harus dijustifikasi sebagai tak bersalah," katanya.
Seolah-olah, kata dia, jika komisioner disalahkan, maka diyakini lembaga KPK juga menjadi lembaga yang salah. "Implikasi pengeliruan makna itu menyebabkan pegiat anti-korupsi terjebak membela tanpa reserve komisioner KPK yang mungkin saja melanggar etik atau melanggar pidana," ujarnya.
Ia menilai ada semacam keyakinan penghakiman terhadap komisioner itu identik dengan penghakiman terhadap lembaga KPK. "Jika benar demikian, sesungguhnya telah terjadi salah-kaprah terhadap KPK," ucapnya.
Guna mengatasi korupsi yang akut di Indonesia, tegas Haryadi, lembaga KPK tetap harus dijaga integritasnya. Bahkan harus selalu di update tata-kelolanya. Termasuk dengan meng-update code of conduct lembaga KPK.
"Untuk itu, kalau ada komisioner KPK tercela tak perlu ragu harus diamputasi. Lembaga KPK tak akan runtuh jika komisioner KPK yang tercela diamputasi. Sama halnya, lembaga Polri tak akan runtuh jika petinggi Polri yang tercela diamputasi," tandasnya.