TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia, Refly Harun, menilai adanya inskonsistensi pada hakim Sarpin Rizaldi yang mengabulkan sebagian gugatan praperadilan yang diajukan Komisaris Jenderal Budi Gunawan.
Refly menyoroti soal putusan hakim terkait obyek gugatan hingga penilaian hakim atas Budi Gunawan yang dianggap bukan penegak hukum ataupun penyelenggara negara.
"Putusan hakim tidak konsisten, di satu sisi bersikap limitatif terhadap status Budi Gunawan, tetapi di sisi lain tidak limitatif atas obyek gugatan yang bisa diajukan praperadilan," kata Refly saat dihubungi, Senin (16/2/2015).
Refly mengungkapkan, hakim tidak adil dalam mengartikan penyelenggara negara dan penegak hukum. Hakim menilai Budi Gunawan bukanlah penyelenggara negara karena saat penyelidikan dilakukan, Budi masih merupakan pejabat eselon II yang merupakan jabatan administratif. Selain itu, Budi juga dianggap bukan penegak hukum karena jabatannya saat itu adalah Kepala Biro Pembinaan Karier (Karobinkar) Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006.
Di sisi lain, Refly menilai, hakim justru tidak limitatif pada obyek gugatan praperadilan. Sebelumnya, banyak pakar hukum tata negara menilai penetapan status tersangka tidak bisa digugat melalui praperadilan.
"Ketika artikan memutus soal kewenangan praperadilan atas status tersangka, dia tidak limitatif. Padahal dalam KUHAP dikatakan hanya penahanan, penangkapan, rehabilitasi yang bisa dipraperadilkan," ucap dia.
Hakim tunggal sidang gugatan praperadilan Budi Gunawan memutuskan bahwa penetapan tersangka Budi oleh KPK tidak sah secara hukum. Hakim Sarpin memberikan putusan tersebut setelah menimbang sejumlah hal, antara lain dalil gugatan pihak pemohon (Budi Gunawan), jawaban atas gugatan dari termohon (KPK) serta bukti dan saksi-saksi yang diajukan kedua belah pihak.
Budi menggugat KPK atas penetapan dirinya sebagai tersangka. Status tersangka itu ditetapkan lantaran Budi diduga memiliki rekening tak wajar dengan sangkaan Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat 2, Pasal 11 atau 12 B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi oleh KPK.