TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan, Suryadharma Ali, mengatakan, wajar jika hakim di Pengadilan Tinggi Tata Usaha menangis saat membacakan amar putusan terkait sengketa dualisme kepemimpinan PPP. Hakim tersebut menangis saat membacakan surat Al Imron ayat tiga yang tertera dalam amar putusan.
"Ketika hakim baca ayat Al Qur'an, dia tidak tahan menangis. Sekarang kita lihat versi orang beriman, dia nangis kalau baca Al Qur'an. Kecuali dia dihinggapi setan, kalau dibacain malah marah," ujar Suryadharma di Jakarta, Kamis (26/2/2015).
Suryadharma menduga, hakim menangis karena menyesalkan perpecahan yang terjadi di tubuh partai Islam. Padahal, kata dia, Islam tidak mengajarkan umatnya untuk bercerai berai dan menyebarkan fitnah.
"Dia mungkin berpikir, kok partai Islam cerai berai? Padahal Islam mengajarkan damai. Kok menyebar fitnah? Padahal Islam tidak mengajarkan itu," kata Suryadharma.
Ia mengatakan, peristiwa mengharukan saat hakim mengumumkan kemenangan PPP kubu Djan Faridz bukan suatu rekayasa. Apalagi, lanjut dia, hampir seluruh pengunjung sidang nampak menangis mendengarkan putusan hakim.
"Seumur hidup, baru itu saya menghadiri persidangan putusan pengadilan. Tapi menurut imajinasi saya, itu adalah satu-satunya sidang yang terjadi di mana 90 persen orang menangis," kata Suryadharma.
Sebelumnya, PTUN menerima gugatan yang diajukan PPP kubu Suryadharma Ali terkait sengketa dualisme kepemimpinan di PPP. Kuasa hukum DPP PPP kubu Romahurmuziy, Luthfi Hakim menduga, hakim menerima tekanan dari kubu Suryadharma, lantaran di saat yang sama ada ratusan massa tak dikenal yang hadir di PTUN untuk mendengarkan sidang putusan itu.
Sementara itu, Fernita membantah tudingan yang dilayangkan kubu Rommy. Menurut dia, posisi PPP kubu Suryadharma saat ini berada di luar pemerintahan. Di samping itu, selama persidangan kedua kubu memantau jalannya sidang yang digelar secara terbuka.
“Enggak ada yang menekan. Semua sidang berjalan terbuka, apa yang tertekan? Kita bukan penguasa, bagaimana menekannya,” ujarnya.
Penulis: Ambaranie Nadia Kemala Movanita