TRIBUNNEWS.COM, CILACAP - Salah satu terpidana mati yang masuk dalam daftar eksekusi tahap dua, Serge Areski Atlaoui pada pagi tadi menjalani sidang Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Tanggerang, Banten, Rabu (11/3/2015).
PK tersebut diajukan setelah grasi yang dimohonkan ditolak oleh Presiden Joko Widodo. Menurut kuasa hukum Serge, Nancy Yuliana, Kejaksaan Agung (Kejagung) selalu berdalih jika proses hukum telah jelas karena Serge telah menerima semua tuduhan. Hal itu dibuktikan dengan pengajuan permohonan pengampunan (grasi) kepada presiden.
"Dengan adanya permohonan grasi bukan berarti Serge menerima semua tuduhan Jaksa, jadi tidak ada kaitannya antara penolakan grasi dengan sidang PK," ujar Nancy melalui sambungan telepon kepada Tribunnews.
Menurut Nancy, Kejagung juga selalu berdalih jika upaya hukum sudah selesai karena penolakan grasi presiden sifatnya final. Sehingga sudah tidak ada gunanya lagi sidang PK.
"Kan beda grasi dengan upaya hukum yang lain seperti PK. Itu kan kita bicara hukum, sementara grasi kan berbicara pengampunan," tuturnya.
Sehingga menurut Nancy putusan PK oleh Mahkamah Agung nanti tidak akan dipengaruhi oleh penolakan grasi yang sudah dikeluarkan presiden. Karena PK bukan berbicara mengenai pengampuan melainkan fakta hukum.
Dalam sidang PK pagi tadi, pihak Serge tidak melampirkan bukti baru (Novum). Kuasa hukum mengajukan PK hanya atas dasar dua hal, yakni kekhilafan hakim dalam putusan di pengadilan tingkat pertama serta perbedaan putusan hukuman di tingkat pengadilan.
"Ya lihat saja nanti, penandatanganan berkas PK, 25 Maret mendatang, setelah itu putusan, kesempatan itu selalu ada," kata Nancy.
Serge ditangkap di pabrik ekstasi, Cikande, Tangerang, pada 11 November 2005 lalu. Serge dijerat atas kepemilikan Psikotoprika golongan 1 seberat 250 Kilogram dan 138,6 Kilogram Methamphetamin.
Serge divonis hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Tangerang setahun kemudian, yang kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi. Di tingkat kasasi, hukuman Serge berubah menjadi hukuman mati. Grasinyapun ditolak pada 30 Desember 2014 melalui Keppres No 35/G Tahun 2014.