TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan penasihat KPK Abdullah Hehamahua tidak setuju adanya remisi bagi koruptor. Sebab, remisi tidak memberikan efek jera bagi koruptor.
"Di rumah tidur di kasur, lalu di penjara juga. Lalu dirumah pakai handphone, di penjara juga, apa bedanya. Kalau soal hak asasi, apakah dia tidak melanggar hak asasi," kata Abdullah dalam bincang senator dengan tema 'Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi' di Senayan City, Jakarta, Minggu (15/3/2015).
"Tidak usah remisi bagi koruptor, saya usulkan hukuman mati seperti narkoba," tambahnya.
Oleh karenanya untuk memberikan rasa malu, Abdullah menyarankan koruptor langsung diborgol saat pemeriksaan dan menuju rumah tahanan.
Ia juga meminta koruptor dipenjara di Pulau Seribu dengan larangan dijenguk hingga enam bulan.
"Tidak boleh bawa handphone (HP). Kasih parang sama wajan untuk survive, kalau enggak kuat paling menceburkan diri ke laut," ujarnya.
Sementara, Pakar Hukum Pencucian Uang Yenti Ganarsi setuju hukuman mati bagi pelaku korupsi yang telah mengganggu perekonomian nasional. Ia mencontohkan korupsi dana bantuan bencana alam.
"Kalau korupsi dana bantuan tsunami atau gempa Jogja, pidana mati dijatuhkan tidak apa-apa," imbuhnya.
Untuk memberikan rasa malu, Yenti juga menyarankan agar koruptor diasingkan dari keluarganya. "Kasih di pedalaman Papua, pokoknya untuk nengok aja sulit," tuturnya.