TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dosen Politik FISIP Universitas Airlangga (Unair), Haryadi, menilai Kongres PDI-Perjuangan 9-12 April mendatang di Bali menjadi momentum penting untuk menegaskan relasi antara PDI-Perjuangan dengan Presiden Jokowi.
"Hal ini penting, karena betapa pun PDI Perjuangan menjadi partai pemenang dalam Pilleg 2014 dan menjadi partai pengusung serta pemenang Pilpres 2014, namun PDI Perjuangan tak bisa disebut sebagai partai yang memerintah," kata Haryadi, Selasa (7/4/2015).
Menurut Haryadi, setidaknya dari komposisi menteri dan jabatan negara lainnya, PDI Perjuangan mendapat jatah yang tak proporsional.
Bahkan, kata dia, terkesan relasi antara PDI Perjuangan dengan Presiden yang adalah kadernya sendiri bersifat datar dan cenderung agak berjarak.
"Situasi semacam ini niscaya berakibat buruk bagi pelembagaan dan demokratisasi sistem pemerintahan presidensial. Sistem presidensial merupakan amanah UUD 1945. Upaya penegakan sistem presidensial seharusnya dapat dimulai dengan merekayasa relasi antara partai pengusung (dan pendukung) dengan Presidennya. Dalam hal ini, posisi PDI Perjuangan merupakan "kekuatan etik", bukan kekuatan negara," ujarnya.
Sedangkan posisi Presiden, kata dia, adalah merupakan "petugas partai" untuk kemajuan negara.
Sebagai kekuatan etik, PDI Perjuangan wajib mendorong dan mengingatkan Presiden untuk selalu menyerap ideologi partai dalam program dan kebijakan presiden.
Sementara Presiden, sebagai "petugas partai" wajib mengacu ideologi partainya dalam melangkah mengelola pemerintahan negara.
"Hanya dengan cara begitu sistem presidensial akan tegak. Kita berharap kongres PDI Perjuangan di Bali nanti bisa mengeratkan kembali hubungan partai dengan presidennya.
Serta, bisa menegakkan sistem presidensial lewat relasi partai dengan presidennya. Inilah momentum bagi PDI-Perjuangan dan Presiden Jokowi," ungkapnya.