TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tidak adanya aturan yang jelas, dan instansi pemerintah mana yang bertanggung jawab untuk melindungi TKI kasus perbudakan di Benjina, membuktikan perlunya komitmen pemerintah Indonesia untuk lebih serius melindungi pelaut yang bekerja di kapal ikan.
Menurut kuasa hukum TKI pelaut, Iskandar Zulkarnaen, kasus ini mirip dengan kasus perbudakan anak buah kapal (ABK) Trinidad and Tobago, Senegal dan Mozambik.
"Kasus Benjina membuktikan perlunya komitmen Indonesia untuk lebih serius melindungi pelaut yang bekerja di kapal ikan," kata Iskandar di Jakarta, Rabu (8/4/2015).
Ia meragukan keseriusan pemerintah bisa melindungi pelaut kapal ikan yang berada di luar wilayah Indonesia, jika di wilayah Indonesia saja tidak bisa melindungi pelaut yang bekerja di kapal ikan.
Menurut Iskandar, adanya Kartu Tanda Kerja Luar Negeri (KTKLN) sebagai syarat wajib bagi calon TKI, seakan melegalkan adanya perbudakan pelaut yang bekerja di kapal ikan. Seakan dengan KTKLN, pelaut kapal ikan telah memenuhi prosedur penempatan menjadi pelaut perikanan.
Faktanya, KTKLN malah dijadikan alat oleh agen. Seluruh prosedur mendapatkan KTKLN ternyata tidak terpenuhi, misalnya tidak ada asuransinya, dokumennya palsu dan tidak ikut pembekalan akhir pemberangkatan (PAP), akan tetapi mendapatkan KTKLN. Dengan adanya KTKLN membuat otoritas menganggap bahwa pelaut perikanan yang berangkat telah memenuhi prosedur.
"Padahal faktanya tidak demikian. Adanya KTKLN, pemerintah/keimigrasian/BNP2TKI tidak melihat lagi apakah buku pelaut yang merupakan dokumen buat pelaut asli atau tidak," tegasnya.
"Karena itulah, TKI pelaut yang bekerja di kapal ikan berharap kepada Mahkamah Konstitusi untuk melindungi hak-hak konstitusinya," ujarnya.