TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fraksi PKB berharap Kementerian Agama (Kemenag) RI bersama DPR RI ke depan benar-benar mampu melakukan efisiensi biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH). Baik melalui penghematan transportasi, katering, pemondokan dan lain-lain.
Fraksi PKB DPR RI akan mengkaji masalah kemampuan (istitho’ah) dalam menunaikan ibadah haji, karena penyelenggaraan ibadah haji selama ini justru banyak menggunakan uang dari calon jamaah haji yang belum berangkat.
Uang itu terkumpul di bank-bank penerima setoran dana haji, dan atau yang ada di Dana Abadi Haji (DAH) yang mencapai triliunan rupiah.
"Dan, yang terpenting lagi jangan sampai pemberangkatan haji itu menggunakan uang calon jamaah haji. Sebab, dalam pandangan hukum Islam, itu haram karena berarti tidak mampu. Inilah yang akan kita kaji lagi,” ujar anggota Komisi VIII DPR RI FPKB KH. Maman Imanulhaq dalam diskusi publik ‘Menuju Akuntabilitas Pengelolaan Dana Haji’ bersama Ketua FPKB DPR Helmy Faishal Zaeni, Waketum Asosiasi Bina Ibadah Haji dan Umroh (ASBHU-PBNU) KH. Hafidz Taftazani, dan mantan Dirjen Haji dan Umroh Kemenag RI Anggito Abimanyu di Gedung DPR RI Jakarta, Rabu (15/4/2015).
Maman mengatakan, FPKB akan mengkaji pelaksanaan ibadah haji ini secara substansial, sesuai ajaran Islam agar secara subtansial dan teknis penyelenggaraan ibadah haji tersebut akan lebih efisien, tidak melanggar ketentuan kemampuan haji yang telah ditentukan agama Islam, dan bisa berjalan dengan benar, baik, dan mendapat kemabruran dari Allah SWT.
“Ke depan agar lebih efisien, hemat dan tidak membebani umat Islam itu sendiri,” ujarnya.
KH. Hafidz mengusulkan Kemenag RI berkonsentrasi dengan haji dan umroh, agar penyelenggaraan haji tidak menabrak hal-hal yang diharamkan oleh agama. Bahkan, setiap calon jamaah haji berhak mengetahui jumlah uang yang ditabung di bank-bank penerima setoran haji.
“Setiap calon jamaah haji berhak mengetahui jumlah uang yang telah ditabung,” ujarnya.
Menurut Anggito Abimanyu, selama ini yang menjadi sumber terjadinya penyalahgunaan dana itu sendiri adalah UU No.13 tahun 2008 dan UU No.34 tahun 2014 tentang penyelenggaraan ibadah haji.
“Kedua UU itu menjadikan posisi Kemanag RI cukup lemah, karena UU itu tidak sesuai lagi dengan perkembangan perhajian dan tuntutan masyarakat, maka harus dilakukan harmonisasi,” ujarnya.
Namun demikian kata Anggito, bukan berarti penyelenggaraan ibadah haji itu bisa dilakukan oleh lembaga lain selain Kemenag RI.
“Penyelenggaraan haji tetap harus dilakukan oleh Kemenag RI dan pemerintah sebagai penanggungjawab tertinggi. Sebab, kalau sampai penyelenggaraan ibadah haji diserahkan ke badan haji di luar pemerintah, justru akan bertambah kacau sekaligus melemahkan penyelenggaraan ibadah haji itu sendiri. Apalagi dana haji plus APBN itu berjumlah Rp 9 triliun, ini sangat besar,” kata Anggito.
Menyinggung kasus dugaan penyimpangan dana haji tahun 2012 sebesar Rp 1,8 triliun, kata Anggito, hal itu akibat persetujuan penyelenggaraan ibadah haji waktunya sangat mepet oleh DPR RI, sehingga Kemenag RI mengambil solusi cepat karena jadwal penyelenggaraan haji jalan terus.
Demikian juga soal kuota haji, sisa kuota haji dan lainnya memang belum diatur dengan jelas dan tegas dalam UU No.13 tahun 2008 dan UU No.34 tahun 2014 tersebut.
Karena itu, mengenai desakan agar memprioritaskan orang yang belum pernah haji, tidak membawa rombongan pemerintah (PNS), rombongan DPR RI, wartawan dan sebagainya itu memang tidak ada larangan.
“Jadi, tidak ada korupsi, tidak ada yang salah terhadap apa yang dilakukan Kemenag RI. Hanya saja kata KPK, jangan keterlaluanlah. Jadi, aturannya memang tidak jelas,” kata Anggito.