TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Eksekusi mati gelombang keduaa terpidana narkoba dan kasus lainnya, rencananya akan dilaksanakaan pada 28 April 2015. Namun Protes keras dari dalam dan luar negeri menjadi pengiring drama hukum positif Indonesia tersebut.
Pemerintah Indonesia sendiri kukuh menolak lobi-lobi dari negara lain yang warga negaranya akan dihadapkan kepada regu tembak.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Armanatha Nasir (Tata) menegaskan bahwa yang dilakukan Indonesia adalah penegakan hukum. Tata melihat tidak ada indikasi dari Presiden untuk membuka ruang perundingan.
Sehingga praktis, semua upaya yang bersifat permintaan pembebasan atau penukaran terpidana tak akan didengar.
"Ini adalah penegakan hukum, bukan perundingan," kata Tata saat dihubungi waartawan, Minggu (26/4/2015).
Ia berharap keputusan Indonesia dihargai, bukan sebagai hukum brutal, tapi upaya hukum positif di Tanah Air. Terlebih seperti yang sudah sering diberitakan berulang kali, narkoba semakin membahayakan.
Indonesia sendiri saat ini memberlakukan darurat narkoba. Pengedar adalah musuh utama perusak generasi muda bangsa.
Menurut Tata, seharusnya hukuman mati dipahami negara lain, sebagai langkah konkrit dari upaya hukum Indonesia memerangi narkoba.
Seperti negara ini menghormati hukum positif di negara lain. Tata juga mengharapkan baahwa tak ada hubungan bilateral yang terganggu karena hal ini.
"Kami harap penegakan hukum di indonesia tidak mempengaruhi hubungan bilateral indonesia dengan negara manapun," imbuhnya.