TRIBUNNEWS.COM - Konsultan Komunikasi Politik, AM Putut Prabantoro melontarkan kritik bernada satir soal munculnya fenomena “pesta bikini” dengan judul “Splash After Class” (SAC) usai ujian sekolah.
Ia meminta masyarakat untuk tidak mengecam aksi tersebut dan aparat hukum dianjurkan menggunakan pendekatan sosial-budaya daripada hukum dalam penyelesaiannya.
Menurut Putut, fenomena itu hendaknya disikapi secara arif dan bahkan harus dijadikan introspeksi oleh seluruh bangsa Indonesia. Bagi Putut, fenomena “Pesta Bikini” hendaknya dilihat sebagai komunikasi politik yang dilakukan oleh generasi yang dilahirkan serta dibesarkan di tengah kegalauan dan kegaduhan tatanan baru hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada tahun 1998.
Putut Prabantoro, yang juga Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) meminta, jangan pernah mengecam apa yang dilakukan oleh anak-anak sekolah kelas XII tersebut atau bahkan menjadikan fenomena itu sebagai bentuk tindak kejahatan.
“Mereka adalah anak-anak bangsa yang berusia sekitar 17 tahun dan merupakan generasi baru yang lahir ketika Indonesia berada dalam kegaduhan politik, sosial dan sosial. Mereka tumbuh dalam perubahan total tatanan sosial, budaya dan politik Indonesia yang baru yakni reformasi. Dan hingga saat ini, Orde Reformasi belum memberikan wujud nyata dari suatu perubahan budaya, sosial dan politik yang lebih baik daripada orde sebelumnya. Bahkan generasi ini tumbuh dalam arus besar sebuah perubahan tantatan masyarakat yang diwarnai dengan persoalan korupsi, perebutan kekuasaan dan kejahatan terencana ataupun teroganisir,” ujar Putut Prabantoro dalam keterangannya, Senin (27/4/2015).
Perubahan tatanan budaya, sosial dan politik yang tidak mapan ini, katanya, kemudian diperparah dengan munculnya revolusi teknologi komunikasi dan informasi (gadget).
Teknologi komunikasi dan informasi yang ditandai dengan memboomingnya demam handphone mengubah total tata gaul dan tata komunikasi generasi ini.
Sehingga, mereka tumbuh berubah dan berbeda sama sekali dengan tatanan budaya, sopan santun ataupun komunikasi dengan generasi-generasi sebelumnya.
“Generasi yang lahir di sekitar tahun 1998 boleh disebut sebagai Generasi Galau karena mereka tidak menemukan patron atau tokoh idola kecuali dalam dunia maya. Kehidupan di keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintah jauh dari teladan bagi kehidupan mereka. Sehingga generasi tahun 1998 tumbuh tanpa terkontrol dan kendali. Sehingga apa yang kita lihat sekarang ini adalah pertumbuhan generasi baru dalam kegalauannya,”
“Sebenarnya apa yang mereka lakukan sekarang merupakan cermin kegagalan sebuah perubahan budaya, tatatan sosial dan sekaligus visi pendidikan yang tidak jelas. Reformasi adalah suatu langkah yang baik pada awal mulanya. Namun ketika reformasi tidak diselesaikan dengan baik, orde ini kemudian malah memunculkan berbagai permasalahan yang tidak terselesaikan pula. Generasi yang lahir tahun 1998 terjebak dalam keruwetan tersebut. Sementara itu, masyarakat, orang tua dan pemerintah tidak menyadari kekeliruan yang telah terjadi,” ujarnya.
Oleh karena itu, Putut Prabantoro mendorong penegak hukum menggunakan pendekatan budaya dan sosial dalam menyelesaikan kasus “pesta bikini” daripada pendekatan hukum.
Dengan dicantumkannya 16 SMA/SMK sebagai pendukung oleh pihak penyelenggara (EO), sebenarnya merupakan cerminan secara jelas fenomena yang terjadi dalam masyarakat yang datang dari generasi 1998 ini.
Putut menyakini, “pesta bikini” hanya merupakan satu dari sekian banyak fenomena generasi baru ini yang ada di masyarakat.
“Jangan sampai kita semua membunuh generasi baru 1998 ini karena tindakan mereka sebenarnya akibat dari ketidakpedulian masyarakat dan negara selama 17 tahun. Bandingkan saja generasi ini dengan tatanan negara dan pemerintahan yang senantiasa galau dan gaduh juga,” ujar Putut Prabantoro.
Itu berarti, kata Putut, sanksi yang dijatuhkan pun semestinya bukan dari aspek hukum. Event organizer dan peserta pesta bikini tidak harus dikenakan sanksi pidana namun sanksi moral yang tegas. Bentuknya? Putut mencontohkan, para siswa itu diwajibkan mengikuti kelas Bela Negara atau kegiatan yang sejenis wajib militer.