Laporan Wartawan Tribunnews.com, Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap 2 Mei, beberapa lembaga yang peduli dengan anak-anak HIV membuat surat terbuka bagi Menteri Pendidikan, Anies Baswedan.
Dalam surat itu, lembaga-lembaga yang terdiri dari Lentera Anak Pelangi – PPH Atma Jaya,
Indonesia AIDS Coalition, Yayasan Syair Untuk Sahabat, Penabulu Alliance, Yayasan Karisma, dan ODHA Berhak Sehat meminta adanya jaminan bagi anak dengan HIV agar tidak lagi didiskriminasi di sekolah apapun di seluruh tanah air tercinta.
"Pak Anies yang baik, izinkan kami membantu mewujudkan mimpi anak-anak yang bercita-cita menjadi dokter, guru, polisi, olahragawan, menteri, bahkan menjadi seorang presiden. Jangan ada lagi anak HIV yang harus mengalah atas keegoisan orangtua, jangan ada lagi anak HIV yang harus trauma akibat penolakan berturut-turut dari sekolah yang didatanginya, bahkan jangan ada lagi kasus diskriminasi di lingkungan sekolah atas dasar apapun," tegas
Natasya E Sitorus dari Lentera Anak Pelangi, Minggu (3/5/2015).
Dijelaskan Natasya, selama ini kita tidak bisa menutup mata atas kasus diskriminasi karena status HIV. Pasalnya berapapun kasus yang terjadi, ada anak yang sudah terlanggar haknya di sana. Dan selama hak anak untuk bersekolah masih terlanggar, maka hal tersebut masih akan menjadi bagian dari potret buram pendidikan bangsa ini.
Berikut isi surat terbuka tersebut :
Surat Terbuka Untuk Bapak Menteri Pendidikan
"Anak dengan HIV punya hak pendidikan yang sama dengan anak lainnya."
Salam sejahtera!
Selamat Hari Pendidikan Nasional, Pak Anies!
Pak Anies yang baik,
Tak terasa, tahun 2015 ini bangsa kita memperingati Hari Pendidikan Nasional ke-61. Pak Muhammad Yamin, kala itu sebagai Menteri Pendidikan mengusulkan kepada Presiden Sukarno untuk menjadikan tanggal kelahiran Ki Hajar Dewantara sebagai Hari Pendidikan Nasional. Namun, selama 61 tahun Hari Pendidikan Nasional selalu diperingati, seperti apakah potret pendidikan bangsa kita Pak?
Tidak Pak, surat ini tidak akan membahas tentang struktur bangunan sekolah yang sangat tidak layak untuk dipakai dalam proses belajar mengajar sementara kantor kementerian begitu megahnya di Senayan. Tidak Pak, surat ini juga tidak akan membahas perihal penyelewengan dana bantuan serta anggaran yang sudah dialokasikan untuk pendidikan. Tidak Pak, surat ini juga tidak akan bicara tentang jatah kursi yang dijual di sekolah negeri atau bocornya soal Ujian Nasional.
Pak Anies yang baik,
Surat ini ingin bicara tentang hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, yang memang menjadi haknya sebagai warga negara Indonesia. Tahukah Bapak ada berapa kira-kira jumlah kasus penolakan murid berkaitan dengan isu diskriminasi karena status HIV? Dalam rentang waktu enam tahun sejak 2009 lalu, setidaknya ada enam kasus penolakan murid di sekolah dasar yang didampingi oleh Lentera Anak Pelangi. Enam kasus tersebut terjadi di DKI Jakarta, empat di antaranya terjadi di sekolah swasta dan dua di sekolah negeri. Di luar Jakarta, setidaknya ada empat kasus diskriminasi yang terjadi dalam tiga tahun terakhir.
Pak Anies yang budiman,
Anak dengan HIV bukanlah anak berkebutuhan khusus. Anak dengan HIV bisa bertumbuh dan berkembang selayaknya anak-anak yang lain dengan adanya perawatan serta dukungan yang baik. Maka ketika sekolah pada akhirnya meminta murid yang berstatus HIV untuk pindah ke sekolah lain dengan alasan tidak tahu bagaimana harus memenuhi kebutuhan khusus anak tersebut, ada sesuatu yang salah di sana. Sesungguhnya anak dengan HIV tidak mudah untuk menularkan HIV kepada anak lain atau orang dewasa. Kontak sosial normal yang terjadi dalam aktivitas di sekolah tidak akan memungkinkan salah satu cairan tubuh anak yang mengandung virus HIV keluar dari tubuhnya dan masuk ke tubuh anak atau orang lain.
Pak Anies yang baik,
Anak tidak bisa memilih dari siapa ia dilahirkan. Seandainya bisa, mungkin mereka akan memilih dilahirkan dari orangtua yang serba berkecukupan. Mereka akan memilih dilahirkan dari orangtua yang sehat dan tidak menularkan apapun kepada mereka selain kebahagian dan segala kecukupannya. Bukan salah dan dosa anak ketika ia terlahir dengan HIV. Tetapi mengapa anak yang harus menanggung rasa sedih akibat dikucilkan oleh teman-temannya di sekolah? Mengapa anak yang harus terluka akibat penolakan oleh orangtua murid yang lain? Mengapa anak yang harus dirugikan ketika sekolah gagal meyakinkan orangtua serta guru bahwa anak dengan HIV juga punya hak bersekolah?
Pak Anies yang bijaksana,
Hari Pendidikan Nasional diperingati tiap tanggal 2 Mei untuk mengenang jasa Ki Hajar Dewantara. Ia menentang kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang mengijinkan anak-anak kelahiran Belanda dan orang-orang kaya saja yang boleh duduk di bangku pendidikan di Indonesia. Baginya, setiap anak, apalagi anak yang lahir di Indonesia berhak untuk bersekolah di negeri ini. Lalu mengapa kita masih memperingati Hari Pendidikan Nasional ketika sistem pendidikan negeri ini gagal menjamin hak anak untuk bersekolah?
Pak Anies yang baik,
Sekolah negeri mungkin mau tak mau harus membiarkan anak dengan HIV tetap bersekolah di sana bahkan ketika orangtua murid lain tidak menginginkannya. Tapi sekolah swasta tunduk pada suara orangtua. Jika tidak, maka sekolah akan merugi dan guru-gurunya mungkin tidak akan menerima gaji. Tapi bukankah sekolah swasta juga berada di bawah sistem pendidikan nasional? Masing-masing daerah mungkin beroperasi sesuai dengan otonomi daerahnya dan mengikuti peraturan daerah. Tapi untuk pendidikan, bukankah seharusnya mengacu pada sistem pendidikan nasional? Jika demikian, mengapa masih ada sekolah swasta yang seakan-akan diperbolehkan untuk menolak anak dengan HIV bersekolah di sana? Sekolah mungkin tak bisa selamanya disalahkan karena harus mengalah pada kemauan sebagian besar orangtua. Tapi pemerintah khsususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga seharusnya punya sanksi yang tegas bagi sekolah yang melakukan diskriminasi terhadap anak, atas alasan apapun itu.
Pak Anies yang arif,
Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dibuat bukan hanya untuk menambah sederet undang-undang yang sudah ada di negeri ini. Undang-undang tersebut dibuat untuk melindungi anak, menjamin bahwa semua haknya terpenuhi. Pasal 4 dalam undang-undang tersebut menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dan pasal 9 ayat 1 menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Dan anak yang terlahir dengan HIV seharusnya termasuk dalam kata anak pada kedua pasal terserbut.
Pak Anies yang mencintai anak-anak Indonesia,
Anak-anak dengan HIV adalah anak Indonesia juga. Hingga September 2014 lalu, tercatat ada 3.976 anak usia 0-14 tahun yang terinfeksi HIV di Indonesia (Ditjen P2PL, 2014). Mereka yang sudah berada di usia sekolah dan mereka yang segera akan masuk sekolah tidak membutuhkan sebuah sekolah khusus untuk menampung mereka. Mereka membutuhkan kesempatan untuk bisa mengenyam pendidikan dasar yang dijanjikan pemerintah untuk mereka, sama seperti anak-anak lainnya. Mereka membutuhkan suasana dan kesempatan untuk bisa bersosialisasi dalam sistem bernama sekolah dan bukan sekedar mengikuti pelajaran di rumah saja.