TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pendidikan budi pekerti kini berstatus mendesak untuk kembali diterapkan ke kurikulum pendidikan jika tak ingin Indonesia kehilangan masa depan.
Kesimpulan itu menjadi intisari tiga pembicara dalam Pelatihan Kepemimpinan yang diadakan STIE St. Pignatelli Surakarta di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, Minggu (3/5/2015).
Pelatihan selama tiga hari tersebut menghadirkan Wapemred Harian Kompas, Trias Kuncahyono , Konsultan Komunikasi Politik AM Putut Prabantoro, dan anggota DPRD Provinsi Banten dari PDIP, Ananta Wahana sebagai pembicara.
Disebutkan, dikembalikankan budi pekerti ke bangku sekolah, tata pergaulan, tata komunikasi serta tata budaya yang dirasakan sudah hilang di dalam masyarakat Indonesia setidaknya dalam kurun waktu 17 tahun ini dapat dikembalikan.
“Pendidikan budi pekerti sangat mendesak untuk ditanamkan kembali pada dunia pendidikan. Kita semua bertanggung jawab atas masa depan Indonesia yang bermartabat, berbudaya dan sekaligus berakhlak. Mengembalikan pendidikan budi pekerti ke sekolah setidaknya akan menjamin Indonesia dengan masa depan yang lebih baik. Tidak adanya budi pekerti dalam tata pergaulan atau tata komunikasi menjadikan para mahasiswa menjadi pemimpin yang tidak professional, haus kekuasaan dan tidak memiliki hati,” ujar Trias.
Trias mengambil contoh sopir angkot yang sama sekali tidak memiliki rasa bersalah dan bahkan tidak peduli meski sudah melanggar hak pemakai jalan lain. Hampir di semua kota, sopir angkot tidak memiliki kepedulian terhadap hak orang lain yang sama-sama menggunakan jalan. Sementara aparat penegak hukum di jalan juga tidak peduli juga terhadap perilaku para sopir angkot itu.
“Itu contoh riil apakah budi pekerti ada dalam masyarakati kita tidak. Mahasiswa yang berperilaku menyontek saat ujian ataupun skripsi juga menunjukkan tipisnya budi pekerti di kalangan mahasiswa. Dan lambat laut sifat yang permisif itu menjadi budaya pada akhirnya akan menghancurkan bangsa Indonesia,” tegas penulis buku laris, Jerusalem, yang dicetak ulang 17 kali tersebut.
Menurut Putut Prabantoro, para pemimpin bangsa harus menyadari bahwa setidaknya selama 17 tahun, generasi baru Indonesia melihat tokoh bangsa atau pejabat yang berperilaku jauh dari berbudi pekerti.
Tontonan televisi seperti konflik horizontal antarpelajar, perebutan kekuasaan, korupsi oleh para pejabat negara, konflik antarpenegak hukum adalah tontonan yang biasa dilihat di televisi adalah contoh buruk yang terekam dalam kehidupan mereka.
“Generasi muda Indonesia selalu dihadapkan pada pilihan buruk dengan munculnya diskriminasi agama, diskriminasi suku, diskriminasi ras atau juga diskriminasi dunia kerja dalam kehidupan sehari-hari. Sekalipun mereka dididik dalam warna Bhinneka Tunggal Ika, pada kenyataannya kehidupan sehari-hari mereka menemukan begitu banyak diskriminasi. Sementara di sisi lain, para pemimpin bangsa dalam perilakunya seringkali memunculkan konflik sekalipun hanya dalam tatanan wacana atau di media,” ujar Konsultan Komunikasi Politik itu.
Sementara Ananta Wahana, menjelaskan bahwa menjadi pemimpin Indonesia di masa depan dibutuhkan nyali untuk mengubah dunianya menjadi lebih baik.
Tokoh seperti Lech Walesa dari Polandia, Soekarno ataupun Joko Widodo adalah orang yang memiliki “nyali” untuk mengubah negaranya dengan risiko dan ancaman begitu besar yang berdiri di hadapannya.
“Jangan menjadi pemimpin pengecut yang mampunya menjadikan orang lain tumbal. Ataupun juga yang hanya menggunakan uang ataupun SARA untuk mencapai tujuannya. Harus punya nyali untuk menjadi pemimpin besar di masa depan,” ujar Ananta Wahana, yang menyatakan mencalonkan diri sebagai Walikota Tangerang Selatan sekalipun dirinya dari kelompok minoritas.
Dalam penjelasannya Pastor JB Clay Pareira SJ dari St. Pignatelli menegaskan, bahwa bersama Pastor B. Bambang Triatmoko SJ sebagai Ketua Dewan Pembina, STIE St Pignatelli bertekad menjawab tantangan dalam mencetak kader pemimpin yang berbudi pekerti dan bernyali.
Indonesia sudah terlampau lama mengabaikan pendidikan budi pekerti bagi anak bangsanya dan senantiasa meninabobokan segala bentuk aspirasi dengan uang.
Menurut Pastor Clay, apa yang dilakukan oleh St Pignatelli ini adalah untuk memperingati Kebangkitan Nasional dan sekaligus menuju peringatan 70 tahun Kemerdekaan Indonesia dengan bertumpu pada Hari Pendidikan Nasional.