TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Hukum Tata Negara, Margarito Kamis melihat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Umum Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, merupakan peraturan yang paling amburadul jika dibandingkan dengan undang-undang lain.
Dia bahkan menyangsikan UU tersebut bila menjadi rujukan penyelenggaraan pilkada serentak tahun ini.
"UU Pilkada ini adalah undang-undang yang paling berat, paling amburadul daripada undang-undang yang lain," ujar Margarito kepada wartawan, Jumat (8/5/2015).
Margarito menyatakan hal itu, karena isinya tak banyak berubah dari sebelumnya, meski sudah melewati revisi terlebih dahulu di DPR. Padahal tahun ini pilkada akan dilakukan serentak.
Sehingga bila mekanisme tahapannya tetap sama, maka menurutnya kemungkinan besar akan lebih amburadul hasilnya.
"Dari dulu setiap terminal, dari TPS, PPS, PPK ada calonya. Setiap tahapannya ada masalah," ujar Margarito.
Selain itu, menurut Margarito, bisa juga dilihat dari anggaran penyelenggaraan Pilkada. Buktinya, pilkada serentak yang semangatnya untuk mengefesiensikan biaya, justru dengan sistem serentak malah jauh lebih boros.
"Bikin pilkada serentak biar biayanya kecil, faktanya malah biayanya sama juga besar," ujar Margarito.
Karena itu, Margarito menyarankan lebih baik pemerintah mengusulkan DPR untuk membuat undang-undang yang baru. Dengan konsep yang matang, dan tidak tergesa-gesa karena tekanan politik.
"Dibuat dengan pikiran tenang, yang jelas, agar kita peroleh tatananan yang baik," katanya.