Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reza Gunadha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden RI ke II, Soeharto, mungkin bisa dikatakan sebagai politikus paling beruntung di antara sejumlah presiden seangkatannya yang sama-sama dicap sebagai diktator.
Tak seperti mantan diktator Chile Augusto Pinochet, Pol Pot di Kamboja, Idi Amin di Uganda, atau Saddam Husein, yang diadili hingga terbunuh secara tragis, Soeharto bisa hidup tenang hingga malaikat kematian menghampiri.
Bahkan, ketika situasi ekonomi kekinian semakin menghimpit, romantisme buta masyarakat terhadap Orde Baru yang serba tertib dan tenang ala era kolonial Belanda (Rust en Orde) kian membuncah.
Namun, bagi masyarakat yang menjadi korban kebijakan Soeharto, pengadilan terhadap berbagai kejahatan yang ditiduhkan kepada sang jenderal bintang lima harus tetap dilakukan.
Eksponen gerakan mahasiswa '98, Abdullah Taruna, saat livechat di Newsroom Tribun di Jakarta, Kamis (21/5/2015), mengatakan pengadilan bagi kejahatan Soeharto merupakan satu "PR" Reformasi 1998 yang belum terselesaikan.
"Gerakan reformasi telah mengorbankan anak-anak dari Bumi Pertiwi untuk perubahan Indonesia, salah satunya mengadili Soeharto dan kroninya. Tapi sampai kini, mereka tidak mendapat keadilan, Soeharto pun tak tersentuh hukum," tutur Abdullah yang kini menjabat Ketua Lembaga Studi Indonesia Damai (LSID).
Seperti diktum "hukum harus dijunjung meski langit runtuh", Taruna menegaskan pengadilan itu harus dilakukan meski Soeharto telah mati.
"Perjuangan untuk keadilan masih harus dijalankan," tandasnya.