TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) sebagai salah satu pemilik fungsi regulator bidang hukum seharusnya lebih berinisatif dalam menyelesaikan kekacauan sistem peradilan di Indonesia. Utamanya mengenai polemik praperadilan.
Begitu diungkapkan Miko Ginting, Anggota Koalisi Sapu Korupsi sekaligus peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia dalam jumpa persnya di bilangan Jakarta Pusat, Selasa (16/6/2015). Dia menyoroti carut marutnya proses praperadilan pascaputusan MK yang memasukan penetapan tersangka sebagai salah satu objek praperadilan.
Menurut Miko, harusnya keputusan MK itu diiringi oleh terbitnya sebuah peraturan dari Mahkamah Agung. Bukan justru dibiarkan melenggang sendiri tanpa pembatasan.
"Jadi Formatnya kan bukan sema tapi Perma karena dia mengatur hukum acara. Nah, secara hukum Pasal 82 UU MA itu memberikan fungsi regulator kepada MA untuk menerbitkan peraturan peraturan yang apabila hukumnya tidak mengatur secara lengkap detail dan jelas," ujarnya.
Menurut Miko, ini bukan cuma hajat KPK semata. Tapi untuk semua lembaga penegak hukum, seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Apalagi menyangkut soal penetapan seorang tersangka.
"Anda bisa bayangkan berapa ribu orang yang ditetapkan sebagai tersangka setiap tahunnya? Kemudian dengan efek putusan MK, kira-kira ada berapa ribu orang yang akan mengajukan perlawanan di praperadilan?" kata Miko.
Karena itu, prediksi Miko, bila dibiarkan saja oleh MA tanpa terbitnya peraturan, di waktunya nanti akan ada kemacetan penanganan perkara. Karena masuk dahulu ke proses praperadilan.
"Sehingga memang menurut saya kepentingan yang harus dipikirkan oleh MA bukan cuma kepentingan KPK semata, tapi kepentingan penegakan hukum, apalagi MA diberikan peran regulatornya itu untuk membuat PERMA," paparnya.
Sementara mengenai isi PERMA, terang Miko, sangat penting dititikberatkan pada tiga poin. Pertama soal sejauh mana pembuktian dapat berlangsung di forum Praperadil. "Jadi sejauh mana pihak-pihak berdalil dan sebagainya," terang Miko.
Kemudian yang kedua, sejauh mana hakim dapat memutuskan. Sebab jika berkaca ke putusan praperadilan Budi Gunawan, yang disoroti adalah penafsiran terhadap Pasal 11 Undang-Undang KPK, dimana Hakim Sarpin Rizaldi saat itu menilai Budi jabatannya bukan dalam rangka melaksanakan penegakan hukum, namun dalam rangka menjalankan fungsi administratif. Sehingga tak termaktub dalam Pasal 11 UU KPK.
"Atau di (perkara) Hadi Purnomo soal penafsiran tentang penyidik dan penyelidik Independen. Itu kan terlalu jauh dari konteks praperadilan," ujarnya.
Adapun poin ketiga, kata Miko adalah upaya hukum apa yang bisa dilakukan untuk melawan putusan praperadilan. "Karena dari sisi normatifnya di UU maupun peraturan yang ada itu kan tertutup ruangnya. Nah itulah perlu ada peran MA dalam menerbitkan peraturan itu," tutupnya.