TRIBUNNEWS.COM - Masyakarat Melayu harus menjadi motor penjaga keutuhan NKRI dengan menempatkan kembali bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Diabaikannya penggunaan bahasa Indonesia secara formal ataupun tidak dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia lambat laun akan menghancurkan NKRI dari dalam.
Selain itu masyarakat Melayu harus mendorong aksi kritisi terhadap televisi, radio ataupun media publik yang secara sengaja mengabaikan penggunaan bahasa Indonesia.
Demikian ditegaskan oleh H Irwan Djamaluddin, Ph.D lulusan Universitas Kyoto, Jepang dalam penjelasannya tentang eksistensi bahasa Indonesia, Selasa (30/6/2015).
Dalam penjelasannya, mantan dosen luar biasa Universitas Indonesia itu juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap pemerintah yang tidak memperhatikan posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
“Bahasa Melayu merupakan bahasa induk dari bahasa Indonesia, yang adalah bahasa persatuan baik secara politis ataupun sosial. Dengan demikian masyarakat Melayu harus menjadi pejaga utama untuk dipastikannya bahasa Indonesia tetap digunakan oleh bangsa ini sebagai bahasa persatuan. Jika Indonesia terpecah itu karena bahasa Indonesia sudah tidak dihargai jati dirinya,” ujar Dosen Tetap Universitas Dharma Persada itu.
Kehidupan bergaya modern, dijelaskan lebih lanjut, seharusnya tidak menghilangkan bahasa persatuan dan menggantikan bahasa bangsa lain.
Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan digunakan oleh bangsa Indonesia dengan berdasar pada Sumpah Pemuda Kedua pada tahun 1928. Sementara pada Sumpah Pemuda Pertama, bahasa yang digunakan dalam sidang masih bahasa Belanda.
“Menurut saya, tidak dijaganya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan inilah yang kemudian mendorong terpecahbelahnya visi dan misi persatuan bangsa Indonesia. Yang digunakan sekarang ini oleh bangsa Indonesia ada dua yakni bahasa politik dan bahasa hukum. Bahasa Indonesia yang merupakan alat komunikasi perjuangan diabaikan begitu saja oleh para elit politik,” ujar pria kelahiran Tanjung Pinang ini.
Menurut tokoh pemekaran Kabupaten Anambas, Kepulauan Riau ini, bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan yang didalamnya termuat kesantunan, kesopanan, tata pergaulan dan tata budaya yang oleh para pendiri bangsa diakui akan menjadi alat komunikasi politik yang efektif dalam perjuangan.
Sehingga berdasarkan analisa dosen sejarah dan budaya ini, perpecahan terjadi di elit politik karena bahasa komunikasinya bukanlah bahasa Indonesia.
Sementara itu, Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) – dari wartawan, oleh wartawan dan untuk Indonesia, AM Putut Prabantoro menjelaskan ada kecenderungan bahasa Indonesia akan ditinggalkan oleh generasi baru. Mereka lebih merasa “berklas” dengan menggunakan bahasa asing dibanding dengan menggunakan bahasa Indonesia sekalipun di negerinya sendiri.
Sementara bangsa lain lebih mencintai bahasanya sendiri sebgai bentuk penghormatan dan menjaga martabat bangsanya sendiri dan mengambil sikap tidak menggunakan bahasa Indonesia sekalipun berada di Indonesia.
“Prancis, Belanda, Jerman, Rusia, Jepang, China, Italia sebagai misal, senantiasa menggunakan bahasanya sendiri tidak peduli seberapa hebat bahasa bangsa lain. Mereka tidak peduli apakah bangsa lain mengerti bahasanya atau tidak. Prancis tidak mau menggunakan bahasa Inggris, meskipun bahasa ini dianggap sebagai alat komunikasi internasional. Menggunakan bahasa sendiri sama dengan menjaga martabat dan kehormatan bangsa,” ujar Konsultan Komunikasi Politik itu.
Pemerintah harus segera merevitalisasi, demikian Putut Prabantoro menegaskan, bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Keterlambatan dalam merevitalisasi bahasa Indonesia akan menggeser bahasa Indonesia dari bahasa persatuan menjadi bahasa komunikasi.
“Bahasa Indonesia bukan sekedar bahasa komunikasi. Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan yang penggunaannya menggunakan sumpah. Jangan sampai bahasa Indonesia akan menjadi sejarah dalam beberapa dekade lagi karena dianggap tidak bergaya oleh bangsanya sendiri,” tegas Konsultan Komunikasi Publik BAKAMLA RI ini.