TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kuasa Hukum mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin yakni Aliyas Ismail berharap hakim praperadilan jilid II bisa mempertimbangkan fakta belum adanya unsur kerugian negara dalam kasus kerjasama PDAM dan PT Traya yang menyeret kliennya sebagai tersangka.
Kamis, (9/7/2015), hari ini, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjadwalkan sidang putusan kasus ini.
"Semoga hakim tidak menutup mata dengan belum rampungnya perhitungan kerugian negara kasus ini," tegas Aliyas di Jakarta, Rabu (8/7/2015), malam.
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) memang belum merampungkan perhitungan kerugian negara (PKN) kasus PDAM Makassar yang menyeret Ilham sebagai tersangka.
Fakta ini diungkap Bagus Kurniawan, anggota tim PKN kasus Ilham di BPK. Dia diajukan KPK sebagai saksi.
Menanggapi ini, Pakar Hukum Pidana Universitas Muslim Indonesia (UMI), Prof Hambali Thalib, laporan BPK yang belum final tidak bisa menjadi bukti atau pijakan bagi penegak hukum untuk menetapkan tersangka.
“Kalau makna belum rampung itu berarti belum ada kesimpulan akhir dan ini masih berproses. Sehingga belum bisa ditentukan berapa jumlah kerugian negara,” kata Hambali, Rabu 8 Juli 2015.
Menurutnya, penetapan final atas kerugian negara sangat penting untuk menjadi pijakan bagi penegak hukum (KPK) dalam menetapkan tersangka. KPK menurutnya harus menentukan terlebih dahulu berapa kerugian negara yang didasarkan pada laporan yang final, tidak bisa berpijakan pada PKN yang belum selesai.
“Jika BPK masih menghitung proses kerugian negara maka kemungkinannya masih luas. Apapun hasilnya nanti, bisa saja memang merugikan negara atau sebaliknya. Ini yang belum terjawab,” tegas Hambali.
Dalam bahasa hukum, kejadian ini disebut dengan obscuur atau kabur dan belum konkret sangkaan yang diberikan kepada seorang tersangka. “Dengan makna kerugian negara masih dihitung maka belum kongkrit adanya kerugian negara. Tidak ada wujudnya,” tambah Hambali.
Belum adanya laporan tentang kerugian negara ini mempunyai konsekuensi hukum karena PKN selama ini menjadi salah satu alat bukti yang dianggap KPK cukup untuk menjatuhkan label tersangka.
Jika PKN tidak bisa dijadikan bukti, maka KPK belum mempunyai cukup bukti sebagaimana yang disyaratkan undang-undang yaitu adanya dua bukti yang cukup untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka. “Kalo tidak bisa dibuktikan berapa kerugian negara berarti tidak bisa membuktikan adanya dua alat bukti yang disyaratkan undang-undang,” jelas Hambali.
Menurut Hambali, jika kekurangan bukti yang dimiliki KPK bisa terbukti dalam sidang praperadilan, besar kemungkinan hakim akan mengabulkan gugatan yang dilayangkan IAS kepada KPK. Apalagi, unsur kerugian negara memang harus dihitung oleh BPK RI. Dalam UU BPK RI, kerugian negara dihitung dan ditentukan BPK untuk mengukur perbuatan melawan hukum baik itu karena sengaja atau karena kelalaian.
Seperti diberitakan sebelumnya, KPK menersangkakan Ilham sejak 2014 untuk kasus PDAM Kota Makassar. Pada Mei lalu, Ilham berhasil memenangkan praperadilan pertama. Tapi KPK menerbitkan sprindik baru pada Juni. Ilham lalu mengajukan praperadilan kedua untuk kasus dan objek materi yang sama ini.