TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah angkat bicara mengenai pasal penghinaan kepada presiden.
Pasalnya, pihak istana menyebutkan draf revisi KUHP sebetulnya telah diajukan sejak pemerintahan Presiden SBY. Namun, saat itu pembahasannya belum tuntas.
Fahri mengingatkan pasal tersebut sudah pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kalau sama substansinya ya tidak layak. Tetap saja teledor, kalau dianggap salah kenapa harus dipertahankan," kata Fahri di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (7/8/2015).
Politikus PKS itu mengatakan kepala negara tidak dapat disebut sebagai simbol negara.
Menurutnya, simbol negara adalah benda mati seperti bendera Indonesia. "Kalau manusianya kan masih hidup, bisa berbuat salah. Mesti mau dikritik. Politisi kan bukan orang suci," katanya.
ā€ˇSebelumnya diberitakan, Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki menjelaskan, draf revisi KUHP sebetulnya telah diajukan sejak pemerintahan Presiden SBY. Namun, saat itu pembahasannya belum tuntas.
"Putusan MK kan tahun 2006. Kemudian pemerintahan SBY usulkan 2012, tapi tidak tuntas pembahasannya, sehingga dikembalikan lagi pada pemerintah. Lalu oleh Menkum HAM sama DPR diputuskan untuk masuk dalam prolegnas tahun 2015. Jadi secara substansi sebenarnya hampir sama dengan yang diusulkan pemerintahan lalu," kata Teten.
Menurut Teten, revisi KUHP soal pasal penghinaan presiden tengah disusun agar lebih matang. Dengan tujuan hasil revisi ini memberikan interpretasi penegakan hukum yang lebih jelas.
"Kalau sekarang yang di KUHP itu pasal karet, siapa pun bisa dikenakan tergantung interpretasi penegak hukum. Kalau yang di RUU yang baru itu pasalnya lebih tegas," katanya.