TRIBUNNEWS.COM -- Karya sastra (novel) bisa menjadi “jalan damai” untuk mendekati kelompok masyarakat yang hidup dengan keras bahkan kejam. Melalui novel, penulis bisa menghadirkan kisah-kisah yang deskriptif nan menyentuh untuk mengajak anggota masyarakat itu memikirkan kembali kebiasaan hidup atau tradisi yang menghambat kemajuan, lalu berubah menjadi lebih baik. Hal inilah yang menjadi misi novel Anak-anak Setengah Dewa (AaSD) karya Stefanus Segu, seorang aktivitas LSM di Sumba.
Novel tersebut diluncurkan di Wisma Mandaelu Waikabubak (22/8/2015), Sumba Barat, NTT. Acara dikemas dalam nuansa budaya Sumba, mencerahkan dan menghibur. Domi Bokol (mantan pencuri) mengisahkan perubahan hidupnya dan mengucap syukur melalui lantunan lagu Kodi diiringi petikan juknya.
Dalam keterangan pers yang diterima Tribun menyebutkan, Wendah Radjah menyihir undangan melalui monolog AaSD. Bahtera Voice membawakan lagu Prai Marapu, milik Marapu Band. Di pengujung acara, setiap undangan membacakan puisi disusul penyalaan lilin untuk Pulau Sumba.
AaSD ini bernarasi tentang kehidupan anak-anak di Bondo Kawango, kampung penjahat paling menggidikkan di Kodi, wilayah paling barat Sumba. Kehidupan di kampung ini berubah, khususnya Rangga dan kawan-kawannya, ketika Tari singgah dalam kehidupan mereka, yang dipicu karena kehilangan boneka kesayangannya. Tingkah polah Rangga, Muda, Loghe, dan Kondo memikat Tari, yang berlanjut dalam rajutan petualangan, persahabatan, dan perasaan saling membutuhkan. Kehadiran Tari mengubah hidup Rangga, anak perampok paling tersohor di kampung itu.
Penulis mengakui, kisah dalam novel ini diinspirasi dari pengalamannya mendampingi komunitas Lapale, Kalena Rongngo dan Ate Dalo – yang sebagian lelakinya adalah pencuri dan perampok. Dalam kebersamaan dengan komunitas ini, penulis melihat sisi lain dari kehidupan mereka yang luput dari perhatian khalayak ramai. Selain kehidupan yang sangat sulit dan keras, sama seperti kehidupan di tempat lain, di sana juga ada persabahatan, cinta, kasih sayang, dan anak-anak bertalenta luar biasa meski wujudnya berlawanan dengan moralitas dan norma-norma sosial.
Sumba (bagian dari propinsi NTT) memiliki harapan, justru dari titik yang paling sulit. Di desa ini, seorang perempuan bernama Soli Ledi member harapan. Kehidupan berat dialaminya, bukan hanya ekonomi, tapi dia bersuamikan pencuri kakap yang pergi bersama istri keduanya, namun berkat penguatan kapasitas dan adanya kesempatan mengambil peran-peran publik, ia sukses sebagai seorang ibu dan menjadi penggerak perubahan sosial di kampungnya.
Penulis novel ini mengaku menyaksikan Desa Lapale yang didampingi oleh Yayasan Bahtera (LSM, tempat Stefanus berkarya dari tahun 2002-2010) berhasil menjuarai lomba desa tingkat Kabupaten Sumba Barat tahun 2008.
Pengalaman nyata ini, diakui penulis telah mengubah cara pandang dan sikapnya, dan berniat melakukan sesuatu agar semakin banyak orang tahu tentang sisi tersebut dan sekaligus menghancurkan stigma yang telah berurat berakar puluhan tahun.
Selain mendiskripsikan dasyatnya tragika kehidupan anak-anak dan perempuan akibat stigma sosial – dalam novel ini juga banyak dijumpai kisah-kisah seru, lucu, menyentuh dan tak terduga. Novel ini diterbitkan oleh Indie Book Corner dan dalam waktu dekat bisa didapatkan di toko buku. Saat ini, novel ini bisa dipesan online pada Penerbit Indie Book Corner.