TRIBUNNEWS.COM - SAMPAI hari ini, Komjen Budi Waseso atau Buwas masih menyimpan Vespa buatan tahun 1973. Buwas dan istri sempat berbeda pendapat soal Vespa lawas itu.
Buwas mengaku pernah jengkel, karena sang istri meminta agar Vespa itu dijual. "Istri saya pernah bilang dijual aja," kata Buwas.
"Saya bilang, saya nggak mau jual, karena Vespa itu yang mengingatkan saya. Hidup kami pernah ditolong oleh saksi bisu itu," imbuhnya.
Vespa itu disimpan di rumah Buwas, tepatnya rumah peninggalan orangtuanya, di kompleks perwira TNI AD Bulakrantai, Kramat Jati, Jakarta Timur. Demikian pula saat Buwas dan keluarganya tinggal di rumah jabatan Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) di Jalan Panglima Polim III, Jakarta Selatan.
Bagi Buwas,Vespa itu merupakan bagian dari sejarah hidupnya dan keluarganya. "Ada cerita di balik Vespa butut itu. Menggunakan Vespa itu, saya jadi tukang ojek, tahun 1994, saat itu pangkat saya masih kapten (sekarang ajun komisaris polisi/AKP)," tutur Buwas di hari terakhirnya di rumah dinas Kabareskrim, Minggu (6/9/2015).
Buwas mengaku terpaksa menjadi tukang ojek lantaran gajinya sebagai staf pengajar di Direktorat Pendidikan Polri terbilang pas-pasan.
"Yah..., memang karena keterbatasan gaji, saya waktu itu jadi pengajar di Direktorat Pendidikan Kepolisian, jadi dosen terbang karena mengajar ke sana ke sini," katanya.
"Gaji sudah nggak bisa digugat-gugat, sudah untuk keperluan ini itu, nggak cukup lah. Saat itu, anak saya sudah satu," imbuhnya.
Untuk mendapatkan penghasilan tambahan tanpa menggadaikan profesinya, Buwas membeli Vespa buatan tahun 1973 seharga Rp 300 ribu. Di luar tugas sebagai pengajar Direktorat Pendidikan Polri, Buwas menjadi menjadi tukang ojek. Skuter itu sekaligus menjadi kendaraan pribadi pertamanya. Buwas mengaku pendapatannya dari mengojek sekitar Rp 6.000. Saat itu, rata-rata tarif penumpang ojek adalah Rp 1.000. "Pendapatan sebagai tukang ojek, pada waktu itu, cukup untuk uang bensin dan (biaya) jalan ke kantor.
Buwas tak malu mencari pendapatan tambahan sebagai calo bahan bangunan. "Saya juga pernah jadi calo pasir, calo batu bata. Tapi, itu bukan berarti saya melakukan kejahatan," ungkapnya.
"Jadi, kalau ada orang yang sedang mengerjakan proyek bangunan, mandornya saya datangi. Saya ajak ngobrol mandornya lalu saya tawarkan ke dia, misalnya harga batu bata atau pasir, dia berani berapa, nanti saya carikan bata yang haragnya lebih murah. Saya cari barangnya sampai ke tempat Pak Haji di Cibinong. Nah, beda harga semisal Rp 5 ribu itu buat saya," ujarnya.
Namun ada juga mandor proyek yang mencurigai kedatangan Buwas. Sebab, saat Buwas datang ke proyek bangunan mengenakan seragam polisi. Meski Buwas mengenakan jaket, namun celana maupun sepatu Buwas tak bisa berbohong. Barangkali mereka heran kenapa ada polisi datang ke proyek bangunan.
Namun, Buwas mampu meyakinkan sang mandor karena tujuan kedatangannya semata-mata sebagai calon material bangunan.
"Jadi, kalau sekarang saya susah, saya tidak takut. Dulu saja waktu masih kapten siap, apalagi sekarang, sudah komjen, yang sudah alhamdulillah. Terkadang saya suka omongin ke anak buah saya, saya bisa jadi begini modalnya jujur. Cari tambahan yang halal sampai nggak ada istilah malu jadi tukang ojek," ucapnya.