TRIBUNNEWS.COM, BOGOR - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pemeriksaan anggota DPR oleh penegak hukum atas seizin presiden. Partai Demokrat menyatakan menghormati putusan tersebut.
"Sudah final dan mengikat. Kita ikuti saja," kata Ketua Fraksi Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) di Puri Cikeas, Bogor, Kamis (24/9/2015).
Ia meminta tidak perlu ada kesepakatan khusus mengenai pemeriksaan anggota DPR. Ibas menilai bila ada anggota DPR sudah terperiksa penegak hukum tetap diproses.
"Harus fairlah. Kalau DPR yang berikan izin bisa diartikan lain oleh publik," ujarnya.
Mengenai kekhawatiran presiden tidak adil dalam izin anggota DPR. Dimana presiden nantinya akan memperlambat keluarnya izin bagi anggota DPR dari partai pendukung, Ibas meminta masyarakat kritis terhadap hal itu.
"Kita harus bisa kritisi kalau ada kecenderungan kelompok tertentu diamankan," imbuhnya.
Ia mengingatkan saat Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat sebagai Presiden RI selama 10 tahun. SBY tidak menghambat proses penegakan hukum.
"Tidak ada Pak SBY menahan baik kader atau kepala daerah. Kalau ada perlindungan khusus, kritisi saja nanti. Saya yakin penegak hukum tidak berani main-main. Yang penting tidak dicari-cari kesalahannya," ungkap Anggota Komisi X itu.
Sedangkan Ketua Badan Pembinaan Organisasi Keanggotaan dan Kaderisasi DPP Partai Demokrat, Pramono Edhie Wibowo meminta semua pihak tidak berburuk sangka.
"Tidak boleh berburuk sangka kalau partai pendukung akan memperlambat dan mempercepat jika bukan dari partai pendukung," imbuhnya.
Diketahui, Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk penegak hukum ingin memeriksa anggota DPR harus mendapat izin Presiden.
Sehingga tak berlaku lagi aturan yang menyebut pemberian izin dapat memeriksa berasal dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Putusan ini bertentangan dengan yang dimohonkan para pemohon, yang menginginkan aturan dalam pemeriksaan anggota DPR tidak perlu mendapatkan izin MKD.
Tapi MK memutuskan lebih dari itu, yakni izin harus diterbitkan Presiden.
Hakim MK, Wahiduddin Adams mengatakan, ini bukan sesuatu yang baru. Pasalnya, pemberian persetujuan dari presiden ke pejabat negara yang sedang mengalami proses hukum sebenarnya telah diatur dalam sejumlah UU. Antara lain UU MK, UU BPK, dan UU MA.
"Sehingga mahkamah (MK) berpendapat izin tertulis seharusnya berasal dari presiden, bukan dari mahkamah kehormatan dewan," kata Wahiduddin saat membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (22/9/2015).