News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Putra Keempat DN Aidit: Kami Tidak Mewariskan Konflik

Editor: Rachmat Hidayat
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Putri pertama DN Aidit, Ibarruri, Mahadir Basti, Ilham (putra DN Aidit) dan anaknya saat di terminal Bandar Udara H As Hanandjoeddin Tanjungpandan, Senin (6/7/2015) lalu.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -Putra Keempat tokoh PKI DN Aidit, Ilham Aidit, kini aktif di Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri. Ia menuturkan, para keluarga baik dari kelarga para jenderal yang menjadi korban peristiwa 30 Septermber maupun para keluarga PKI, termasuk para keluarga lain dari perisiwa masa lalu sudah berhimpun dalam Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB).

Forum ini, Ilham ini menjelaskan mereka yang tergabung dalam forum ini menjadi ujung tombak rekonsiliasi

"Motto kami, tidak mewariskan konflik dan membuat konflik baru. Intinya begini. kalau para orang tua berkonflik, anak-anaknya tak perlu berkonflik. Konflik itu jangan pernah diwariskan, itu kesepakatan kami," kata Ilham saat berbincang dengan tribun melalui telefon, Rabu (30/9/2015).

Ilham kemudian curhat dalam kesehariannya, sebagai anak tokoh PKI. Meski Peraturan Menteri Dalam Negeri tahun 1981 sudah dicabut Ilham mengaku kerap mendapatkan tindakan diskriminatif.

"Mislanya, kami yang tua-tua kumpul-kumpul kemudian digrebek oleh ormas saat kami ingin menerbitkan buku yang ditulis oleh kawan-kawan tua Lekra. Mereka kerap menulis buku, tapi kerap digrebek dan diminta untuk tidak diterbitkan. Jadi, meski peraturan perundangan sudah dicabut, tapi masih ada resistensi masyarakat," cerita Ilham.

"Saya bergaul dengan masyarakat biasa saja. Akan tetapi dengan beberapa ormas, yang membuat kami terhalang dalam melakukan kegiatan," ujar Ilham yang kini mengaku berusia 55 tahun.

Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Nusron Wahid menilai langkah terbaik untuk mengenang 50 tahun Peristiwa 1965 adalah dengan menjadikannya sebagai pembelajaran, saling memaafkan, dan rekonsiliasi.

"Pembelajaran dari peristiwa itu adalah agar jangan sampai ada pemberontakan pemerintahan yang sah karena pasti akan menimbulkan konflik horizontal dan luka berkepanjangan," kata Nusron.

Nusron mengungkapkan, memaafkan satu sama lain, bukan berarti melupakan.
Dia menegaskan, kekerasan untuk mencapai tujuan tertentu, apalagi politik, jangan sampai terulang. "Kita tidak bisa melihat kejadian masa lalu dengan kaca mata dan perspektif sosiologis hari ini. Kita butuh kearifan zaman," ujar Nusron.

Menurut Nusron, membincangkan siapa yang salah dan benar, apalagi membawa ke Mahkamah International adalah tidak memiliki kearifan zaman. Nusron menilai saat sekarang ini saatnya melihat masa depan dan menjadikan masa lalu sebagai proses pembelajaran perjalanan dan proses pematangan bangsa Indonesia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini