Laporan Wartawan Tribunnews.com, Amriyono Prakoso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tak terbayangkan oleh Kusnendar (84) menempuh masa sulit menjadi tahanan politik belasan tahun lamanya tanpa proses peradilan dan perkara yang membelenggunya.
Sambil menjepit sebatang kretek di tangan kanannya, Eyang Kus, begitu ia disapa tetangganya, mengisahkan hidupnya pada 30 September 1965, saat masih berdinas sebagai pegawai negeri sipil di posisi personalia kantor Perindustrian Indonesia.
Aktif sebagai anggota serikat sekerja, ia tidak pernah menyangka akan dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). “Saya hanya kumpul biasa saja, tidak selalu setiap berkumpul harus bicara negara,” cerita Eyang Kus di kantin LBH Jakarta, Kamis (1/10/2015).
Tepat pukul 04.00 WIB, 10 Oktober 1965, tanpa salam sejumlah tentara masuk ke dalam rumahnya di Jalan Malabar, Halimun, Jakarta Selatan. “Saya tidak tahu lagi setelah itu, tahu-tahu saya sudah berada di lapangan Kodim,” tutur dia.
Di lapangan Kodim, keadaan gelap gulita, matanya hanya melihat bayangan ratusan manusia tiarap dan beberapa di antaranya berada di dalam kantor. Pagi tepat pukul 08.00 WIB, ia dan ratusan orang lainnya dibariskan di lapangan, diminta jalan sambil berjongkok, dipaksa memutari lapangan berkali-kali.
Penyiksaan terus berlanjut, hingga akhirnya Eyang Kus harus berpura–pura semaput agar tidak melakukan hal tersebut. “Saya pura-pura pingsan saat itu agar selamat. Hanya itu yang ada di pikiran saya,” kenang ia sembari menyeruput kopi hitam di hadapannya.
Saat bangun dari tidurnya, Kusnendar melihat banyak bercak darah masih basah. Dari bisik-bisik sesama teman sekamarnya, ia baru tahu darah segar itu dari tubuh pemuda yang memberontak dan menolak untuk ditahan.
Matanya tak bisa terpejam, terus menatap tembok putih penjara. Saban malam Kusnenda dan 500 tahanan lainnya yang tergabung dalam unit II terteror oleh derap langkah sepatu tentara mendekat ke ruangan mereka.
14 Tahun di Bui
Menghabiskan tahanan selama 14 tahun, berbagai siksaan Kusnenda rasakan: merasakan makanan kuda yang diberikan selama di penjara hingga harus bekerja membangun sawah di Cikokol, Tangerang. Siksaan fisik tak seberapa tapi sejak hidup di penjara ia tak dapat mendapat kunjungan keluarganya.
“Saya sampai harus bercerai dengan istri saya,” kata dia ini adalah siksaan terberat.
Kusnenda dan teman-teman sesama tahanan terbiasa menerima pukulan tentara hampir setiap hari. Tiap kali membela diri bukan pengikut PKI, tentara yang menginterogasinya mengibaskan kayu sepanjang satu meter ke kepala, badan, kaki. Sampai pada akhirnya ia menyerah, "Saya menjawab saya PKI. Tapi saya tidak mau.”
Penjara Guntur, Cipinang, Salemba, Tangerang, Nusakambangan dan terakhir Pulau Buru, pernah Eyang Kus injak selama menjadi tahanan politik untuk dosa yang ia tak ketahui sampai sekarang.
Tidak Menuntut
Masa pembuangan telah berlalu, Eyang Kus kembali ke rumah dan dua anaknya menyambut bahagia. Hidupnya tak senormal dulu sebelum di penjara karena ia tak dapat bekerja lantaran mendapat predikat ET yang berarti eks tahanan di KTP-nya.
Sejak saat itu Eyang Kus menerima segala pembedaan dalam pergaulan sosial tapi ia tak menuntut apa-apa atas dosa negara yang telah membuatnya hidup seperti ini.
Ia hanya berharap ada perhatian lebih pemerintah terhadap eks tahanan politik yang tidak sama sekali berkaitan dengan PKI, agar nama baiknya dipulihkan dan hidupnya disejahterakan secara layak.
“Itu masih menjadi mimpi saya dan mimpi eks tahanan politik lainnya. Tidak ada lagi yang bisa dituntut selain kesejahteraan kami dan nama baik kami. Sekarang kami hanya menunggu giliran menyusul jenderal yang gugur pada kejadian itu,” doa dia.