TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Warga Nahdlatul Ulama (NU) akan merayakan hari santri pada 22 Oktober mendatang.
Sekjen Pengurus Besar NU (PBNU) Helmi Faizhal Zaini memastikan akan ada sejumlah acara yang digelar PBNU untuk memperingati hari santri tersebut.
Dalam konfrensi persnya di kantor PBNU, Jakarta Pusat, Selasa (4/10/2015), Helmy mengatakan dengan peringatan dalam rangka memperingati hari santri PBNU yang juga menggandeng belasan organisasi masyarakat (Ormas) Islam lain, beserta TNI Angkatan Laut (AL), akan menggelar serangkaian acara.
"Ada kirab yang diikuti seribu santri dari Surabaya sampai Jakarta. Ada juga ekspedisi dengan Kapal TNI AL," ujarnya.
Dengan peringatan hari santri, PBNU ingin menagih janji Presiden Joko Widodo, yang pada saat masih berstatus calon Presiden pada 2014 lalu, pernah berjanji untuk mewujudkan hari santri sebagai hari besar nasional.
Selain itu peringatan tersebut juga bermaksud meluruskan sejarah.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua PBNU, Said Aqil Siraj mengatakan bahwa 22 Oktober dipilih karena tanggal tersebut mewakili semangat santri terhadap nasionalisme.
Kata dia, 22 Oktober 1945, Kyai Hasyim Asy'ari mengumumkan fatwanya yang kemudian dikenal dengan resolusi jihad.
Kyai Hasyim Asy'ari memfatwakan agar umat Islam wajib hukumnya dalam membela tanah air. Sedangkan bagi umat Islam yang tewas dalam perjuangannya membela negara, maka matinya dapat dikategorikan sebagai mati syahid, mati di jalan agama dan dipastikan masuk surga.
Fatwa tersebut juga melarang umat Islam untuk berkolaborasi dengan penjajah. KH.Hasyim Asy'ari memfatwakan siapapun yang berkolaborasi dengan penjajah, dapat disebut sebagai seorang yang kafir.
"Barang siaap yg bekerjasama dngn penjajah, mati kafir, mati tidak dishalatkan, walaupun kyai," jelasnya.
Fatwa yang disampaikan sekitar 70 tahun lalu itu, telah memicu gelombang santri dari berbagai penjuru Jawa, untuk berkumpul di Surabaya melakukan perlawanan. Alhasil terjadi perang hebat di Surabaya pada 10 November 1945.