TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla sejak awal menjabat banyak menikmati kemudahan pembahasan anggaran di DPR. Bahkan dalam pembahasannya, DPR nyaris tidak pernah menolak kemauan pemerintah.
Dalam sisa waktu pembahsan RAPBN 2016 yang dijanjikan DPR ke Jokowi tinggal tiga hari. Rupanya ada kepentingan tertentu di DPR yang menginginkan pembahasan RAPBN 2016 segera selesai. Bahkan mereka menjanjikan paripurna 22 Oktober 2015 RUU RAPBN 2016 akan disahkan menjadi UU APBN 2016.
"Pembahasan Panja Belanja Pusat dan Daerah akan selesai dalam pekan ini. Ada keinginan dari pihak tertentu agar RAPBN 2016 segera disahkan. Padahal batas akhirnya 30 Oktober 2015, sedangkan Presiden Jokowi akan ke Amerika tanggal 23 Oktober," kata Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah di Jakarta, Selasa (20/10/2015).
Perginya Jokowi ke Amerika mengundang pertanyaan terkait deal-deal penting termasuk soal perpanjangan kontrak PT. Freeport. Bahkan pembahasan RAPBN 2016 cenderung berlangsung lambat dan kurang dinamis sebagaimana pembahasan-pembahasan APBN pada periode sebelumnya.
"Seharusnya DPR sekarang khususnya Banggar lebih kritis. Sebab sejak APBNP 2015, pemerintah Jokowi-JK banyak diberi kemudahan. Pemerintah mengajukan perubahan asumsi makro akibat kondisi perlambatan ekonomi domestik dan depresiasi mata uang rupiah yang tajam," kata politikus PKS tersebut.
Selain itu, pemerintah juga merevisi target pertumbuhan dari 5,5 persen menjadi 5,2 persen, menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dari Rp13.400 menjadi Rp13.900.
"Adanya perubahan asumsi tersebut, seharusnya pemerintah melakukan perubahan terhadap proposal anggaran yang sudah disampaikan sebelumnya," katanya.
Lebih lanjut dirinya menilai realisasi penerimaan sektor perpajakan sampai dengan 31 Agustus 2015 baru mencapai 46 persen. Maka usulan target penerimaan sektor perpajakan 2016 sebesar Rp1.564,7 tidak realistis.
Terkait dengan pembahasan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga tidak digali secara mendalam, banyak Kementerian dan Lembaga (K/L) yang belum mengoptimalkan PNBP. Postur RAPBN 2016 yang dihasilkan pun kurang maksimal dengan beberapa catatan. Pertama, penerimaan negara menurun dari Rp1.848,10 triliun menjadi Rp1.822,5 triliun. Kedua, belanja negara berkurang dari Rp2.121,3 triliun menjadi Rp2.095,7 triliun.
"Dengan defisit menjadi 2,15%. Belanja K/L tetap meningkat dari Rp780 triliun menjadi Rp784 triliun. Tetapi pemerintah melakukan kebijakanpenundaan belanja K/L sebesar Rp 21,3 triliun. Ini menjadi masalah," katanya.
Dirinya meminta Banggar DPR RI memberikan catatan yang kuat, dan merevisi hal tersebut.
"Selain itu, PMN kurang mendapat tanggapan dari Banggar DPR-RI. Banyak catatan yang seharusnya disampaikan. Kecenderungan ekspansi Menteri Rini Soemarno perlu dicermati. Jangan sampai jadi beban di masa depan," katanya.