Laporan Wartawan Tribunnews.com Reza Gunadha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Bak wabah penyakit mematikan, bencana kabut asap masih terus menerpa dan menjalar di banyak provinsi Pulau Sumatera serta Pulau Kalimantan.
Pemerintah pusat, legislatif maupun ekskutif, bukannya berpangku tangan.
Setidaknya sejak dua bulan ke belakang, Agustus 2015, kabut asap yang disebabkan pembakaran hutan dan lahan ini menjadi satu dari sekian banyak persoalan yang menjadi bahasan utama para pemangku kebijakan.
Namun, ketika para politikus di Senayan asyik beradu argumentasi di ruangan berpendingin, kala sang presiden dan pembantunya sibuk mengatur langkah, korban justru semakin bertambah pula.
Tidak sedikit pihak yang meminta pemerintah untuk segera menetapkan serangan kabut asap sebagai bencana nasional, sehingga segala sumberdaya bisa dialokasikan secara maksimal dan terstruktur untuk mengatasi masalah ini. Namun, sampai Rabu (21/10/2015), tuntutan itu belum terjawab.
Tak ayal, banyak pihak yang berupaya mengingatkan para pembesar Negara untuk segera menggelar aksi nyata—bukan sekadar memperbincangkan bencana kabut asap atau bahkan menjadikannya komoditas politik.
Satu kritik pedas terebut, dilontarkan Afni Zulkifli melalui akun Facebook miliknya.
Pada kolom keterangan akunnya, Afni mengaku lulusan program Master Politik Universitas Riau. Secara ringkas, bernas, tapi menggigit, ia memberikan testimoni mengenai kehidupan warga di daerah bencana kabut asap.
Berikut tulisan Afni yang diunggah kea kun Facebooknya, Selasa (20/10/2015) :
Mau Tahu Rasanya Azab Asap, Pak Presiden?
Malam ini jelang berganti hari, pukul 23.15 WIB (20/10), asap menyerbu hingga ke kamar tidur. Seperti biasa, terbatuk-batuk karena tersedak asap. Untuk sedulur se Indonesia Raya yang tak berada di daerah bencana, mau tahu rasanya siksa azab asap? Kira-kira, beginilah deskripsi rasanya:
Saat dihirup, terasa ada serbuk-serbuk sisa kebakaran menusuk hidung. Pedas!
Lalu partikelnya terasa mengisi rongga paru-paru dengan kasar. Berat saat dihirup, lebih berat saat dilepas. Panas!
Sekali tarikan nafas (menghirup dan menghembuskannya kembali), butuh waktu beberapa detik. Harus perlahan,pelan-pelan, jika tak ingin dada terasa ditekan. Sesak Nafas..!!!
Dan itu saya rasakan di usia 30 tahun. Dan itu saya rasakan di kamar ber-AC.
Bagaimana dengan para bayi yang baru lahir? Bagaimana dengan para balita yang membutuhkan udara bersih untuk otak dan paru-paru mereka? Bagaimana dengan para lansia yang kerja jantungnya sudah melemah? Bagaimana dengan rakyat jelata yang tak punya AC di rumah mereka? Bagaimana dengan Putri kecil saya Hanina? Sebagaiseorang Ibu, saya sudah berupaya sekuat tenaga mengipas-ngipasdi dekat hidungnya, berharap udara berbahaya tak dihirupnya saat tidur. Tapi Hanina butuh bernafas. Udara berkualitas berbahaya itu, satu-satunya cara agar putri kecil saya tetap bernyawa.
Ada video balita kejang-kejang dan muntah-muntah, digotong oleh Ibunya yang begitu panik luar biasa. Itu video NYATA BUKAN REKAYASA di daerah Palangkaraya. Kabarnya di sana tingkat ISPU sudah melebihi 3.700. Padahal ISPU level berbahayaada di angka 300. Silahkan bayangkan bagaimana rasanya udara tercemar asap dengan tingkat polutan di angka 3.700..!
Riau pernah disebut kepala BNPB menyentuh level 900 saja sudah sesak, apalagi sampai di level 3.700.
Neraka seperti apa yang sedang dipertontonkan para penguasa dan pengusaha serakah perusak alam di negeri ini...?!?
Para balita bertumbangan menghuni bilik-bilik rumah sakit. Tubuh-tubuh mungil nan ringkih yang tak mengerti tentang hutan alam berubah jadi lahan sawit itu, harus sekarat setelah menghirup udara berkualitas berbahaya. Bukan sehari dua mereka bertahan, tapi sudah berbulan-bulan lamanya.
Andai kami para Ibu berteriak dan mencaci maki pemerintah yang kalian cintai, tolong maklumi. Ini soal HAK bernafas yang diberikan gratis oleh Tuhan dan DIRAMPAS PAKSA oleh tangan-tangan manusia serakah. Ini bencana yang harusnya bisa dihindari. Kami LAYAK dan SANGAT PANTAS UNTUK MARAH....!!!
Korban terpapar asap di Riau (data terbaru) sudah mencapai 77.665 orang. Helloooooo Indonesia, itu angka-angka berasal dari manusia semua. Mau berapa kuburan lagi yang harus digali, untuk disebut bahwa bencana asap tahun ini sudah menjadi sebuah TRAGEDI....?!? (*)