TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Hukum Andri W Kusuma menilai kabut asap yang tak kunjung mereda bisa dianggap sebagai kejahatan oleh negara karena gagal melindungi hak asasi warga negaranya seperti diamanatkan konstitusi
“Ini bisa masuk dalam kategori kejahatan oleh negara. Soalnya ada kesan terjadi pembiaran. Seolah-olah perangkat pemerintah tak berjalan sebagaimana mestinya untuk melindungi warga negara,” kata Andri saat dihubungi, Rabu (28/10/2015).
Menurutnya, indikasi perangkat negara tak berjalan bisa dilihat dengan tak bisa memprediksi akan terjadinya musim kemarau yang panjang dan El Nino.
“Pemerintah ada BMKG dan lainnya. Saya yakin dampak El Nino ini ada kajian dilakukan. Ini kenapa tidak diantisipasi dengan meminta masyarakat atau pemegang izin lahan untuk jangan melakukan aktifitas buka lahan dulu. Ini yang sederhananya,” katanya.
Ia meminta diberlakukan pertanggungjawaban mutlak (Strict Liability) bagi pembakar lahan yang terbukti bersalah agar ada efek jera.
Strict liability itu sangat mudah diterapkan karena prinsip tersebut menegasikan kesalahan dalam proses pidana.
"Jadi tidak perlu ada atau dibuktikan ada kesalahan selama terdapat akibat terhadap lingkungan pelaku dapat diminta strict liability, akan tetapi sangat mengherankan negara dalam hal ini pemerintah tidak mau menerapkan langkah ini. Sepertinya ada kekuatan pemilik modal besar yang dilundungi. Penegakkan hukum yang dilakukan justru malah menyasar perusahaan kelas menengah dan tergolong kecil, selain itu hanya menggunakan mekanisme proses pidana biasa, yang pembuktiannya tidaklah mudah," katanya.
Terkait dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, Pasal 69 Ayat (2) dimana dinyatakan membuka lahan dengan cara membakar diperbolehkan dengan memperhatikan kearifan lokal daerah masing-masing, Andri mengatakan, itu sebenarnya jelas ada disebut tentang kearifan lokal.
“Kalau lahan gambutnya tak dalam ini bisa dimaklumi. Kalau di Riau atau daerah lain di Sumatera itu bisa tembus 50 centimeter. Itu bahaya dibakar,” katanya.
Sebelumnya, Center for International Forestry Research (CIFOR) memperkirakan dampak ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari Rp 200 trilliun, melebihi kerugian pada tahun 1997, padahal jumlah lahan yang terbakar jauh lebih sedikit.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan total lahan yang terbakar di Sumatra dan Kalimantan mencapai 1,7 juta hektar dengan titik api sekitar 1.800 pada Minggu (25/10) , jauh lebih kecil dibandingkan pada tahun 1997 yaitu 9,7 juta hektar. Tetapi dampak kebakaran hutan ini lebih luas karena pengaruh El Nino yang panjang.
“Saya tidak setuju asap ini dijadikan bencana nasional. Bisa enak itu para pembakar lahan. Sebut saja ini dalam kondisi darurat, kalau mau keluarkan anggaran dengan cepat. Korbannya bukan hanya manusia, tapi ekosistem alam” tukas Andri.