TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Setelah melalui perdebatan panjang, sidang paripurna DPR RI pada Jumat (30/10), akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016. Dimulai pukul 10.00 WIB, APBN 2016 baru dapat disahkan pukul 21.00 WIB.
APBN disahkan dengan dua catatan berdasarkan hasil lobi antara pemerintah dengan DPR. Pertama, pemerintah harus menjadikan catatan-catatan dari seluruh fraksi menjadi bagian utuh yang harus dilaksanakan pemerintah.
Direktur Centre For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menyatakan, isi APBN 2016, itu hanya sampah karena, bukan untuk kebutuhan masyarakat. Terutama untuk kelas menengah ke bawah.
"Isinya sampah. Lebih banyak diperuntukan bagi politik pemerintah, dan investor sebagai modal utama untuk menggerus
kekayaan alam," kata Uchok kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (31/10/2015).
Hal ini, ujarnya, bisa dilihat dari pemotongan anggaran subsidi bagi rakyat seperti BBM, LPG dan BBN senilai Rp 17,1 triliun menjadi Rp 64,7 triliun dari sebelumnya Rp 81,8 triliun.
Kemudian subsidi listrik dari Rp 76,6 triliun diturunkan menjadi Rp 73,1 triliun.
Sementara anggaran untuk infrakstur terus naik dari Rp.280 triliun, dan menjadi Rp 302 triliun untuk tahun 2016
Uchok mengkritisi adanya PMN untuk Kementerian BUMN. Menurutnya, dana PMN sekitar Rp 30 triliun itu terlalu fantastis untuk BUMN yang selama ini tidak pernah memberikan inovasi untuk pembangunan Indonesia.
"Mestinya Jokowi peka, mayoritas fraksi di DPR , baik KMP maupun PDIP sendiri menolak PMN, artinya isyarat meminta Rini Soemarno mundur dari Kabinet," katanya.
Kementerian BUMN, kata Uchok hanya berisi calo untuk memainkan anggaran di kementerian, sehingga tidak layak mendapatkan dana sebesar itu di APBN.
"Buat apa sebanyak itu untuk kementerian itu. BUMN kita itu enggak bisa diandalkan untuk bantu pemerintah. Mereka tidak punya teknologi sendiri dan inovasi. Isnya cuma calo. Lihat saja APBN untuk BUMN hanya untuk beli aset kemudian dijual lagi," katanya.
Untuk itu dirinya meminta pemerintah berhati-hati dengan kementerian pimpinan Rini Soemarno tersebut. Dana itu, kata dia, harus dikurangi jika tidak ingin timbul persoalan di kemudian hari.
"Dana PMN itu terlalu besar, harusnya Jokowi peka. Ada yang lebih dibutuhkan masyarakat," katanya.