Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengakui reshuffle kabinet secara konstitusi merupakan hak presiden. Namun, ia mempertanyakan adanya wacana yang menguat mengenai reshuffle jilid II.
Padahal, reshuffle jilid pertama baru dilakukan Presiden Joko Widodo. "Kita mau ganti menteri, per satu tahun. Satu tahun satu bulan ganti menteri lagi. Menteri yang tak mampu atau presidennya tak mampu," kata Margarito di Gedung DPR, Jakarta, Kamis. (12/11/2015).
Margarito juga mempertanyakan kepentingan perombakan kabinet yang kedua. Bila hal itu terkait dengan masuknya PAN ke pemerintahan, hal itu sesuai dengan watak asli parpol yang ingin mendapatkan kekuasaan
"Parpol enggak ambil kekuasaan? semua partai mau merebut itu (kekuasaan). Ini watak sejati parpol, berebut kekuasaan, mau diapakan kekuasaan intu, apakah kemaslahatan rakyat atau kepentingan rakyat atau golongan. Ini baru satu tahun satu bulan. Bagi saya kritisi, apakah menteri tidak hebat atau presiden tak hebat," ungkapnya.
Margarito menilai presiden harus diminta tanggungjawab terkait kinerja pemerintahan. Karena hal itu bukan hanya rana para menteri. Ia mencontohkan anehnya program pemerintah. Dimana rakyat dibebankan dengan pajak. Tetapi, pemerintah juga memberikan insentif kepada koorporan yang biasa menghindari pajak.
Meskipun reshuffle kabinet merupakan kewenangan presiden, namun Margarito melihat hal yang aneh bila pemerintah yang baru berumur setahun sudah mengalami dua kali perombakan kabinet.
"Rombak kabinet dalam presidential berdasarkan konstitusi sepenuhnya kewengan presiden. Tetapi ini umur lebih singkat, mau tidak mau merangsang ada yang salah dalam design pemerintah. Kita minta pertanggungjawaban, bukan menteri tapi boleh jadi presidennya tidak hebat," katanya.