TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Maruli Rajagukguk meminta aparat kepolisian agar tidak kembali bertindak represif pada aksi mogok nasional dan demonstrasi di depan Istana Negara yang rencananya berlangsung pada 24 November sampai 27 November mendatang.
Menurutnya, pada aksi demonstrasi buruh yang berlangsung pada akhir Oktober silam, kepolisian telah berlaku represif karena telah membubarkan paksa dan menahan massa di depan Istana Negara.
Tindakan polisi membubarkan massa yang menyampaikan aspirasi pada malam hari dengan dasar Perkab No. 7 tahun 2012, menurut Maruli bertentangan Undang-undang No.9 tahun 1998 tentang penyampaian pendapat di muka umum.
"Seharusnya Perkab itu dicabut karena bertentangan dengan undang-undang yang berada diatasnya," kata Maruli Rajagukguk di Kantor YLBHI, Menteng, Jakarta, Rabu (18/11/2015).
Terkait penahanan dua orang pengacara LBH pada saat pembubaran aksi itu, Maruli mengatakan aparat telah melakukan kebodohan. Pengacara publik tersebut menjelaskan selain pada persidangan advokat juga berhak mendampingi kliennya di luar persidangan.
"Aktivitas pendampingan oleh advokat dapat juga di luar persidangan. Hal itu dilindungi oleh hukum menurut Undang-undang No.18 tahun 2003. Oleh karena itu, penahanan tersebut adalah kebodohan," katanya.
Pada aksi mogok selama empat hari untuk menuntut pencabutan Peraturan Pemerintah No.78 tahun 2015 tentang pengupahan, Maruli menyatakan ada 100 orang advokat yang mendampingi massa buruh dalam Konfederasi Buruh Seluruh Indonesia (KBSI).
Sebelumnya, ketika membubarkan massa buruh yang berdemonstrasi di depan Istana Negara yang berlangsung hingga malam hari pada Jumat (30/ 10/2015) silam, Polisi menahan 17 buruh dan dua pengacara dari YLBHI. Mereka adalah pengacara publik LBH Jakarta, Tigor Gempita Hutapea, asisten pengacara publik LBH Jakarta, Obed Sakti Andre Dominika.