Oleh: Ferdy Hasiman
TRIBUNNEWS.COM - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said melaporkan salah satu politisi Senayan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan DPR yang mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden untuk mendapat jatah 20,64 persen saham PT Freeport Indonesia yang didivestasikan ke pihak nasional (pemerintah pusat, daerah, BUMN-BUMD, dan swasta nasional).
Politisi itu juga meminta jatah 49 persen saham PLTU Urumuka, sebuah PLTU yang direncanakan menjadi pembangkit listrik terbesar di Indonesia. Permintaan itu muncul dalam transkrip pembicaraan antara politisi, salah satu pengusaha, dan perwakilan Freeport.
Jika Freeport sepakat dengan permintaan politisi itu, maka raksasa tambang asal Amerika Serikat itu bisa mengakumulasi modal dari kekayaan tambang emas dan tembaga di Grasberg, Papua, sampai tahun 2041.
Freeport memang sedang melakukan renegosiasi kontrak; penerimaan negara, luas lahan, perpanjangan kontrak, kewajiban divestasi, kewajiban pengolahan dalam negeri, dan kewajiban penggunaan barang dan jasa pertambangan dalam negeri dengan pemerintah.
Renegosiasi adalah meninjau kembali kontrak-kontrak lama yang dianggap merugikan negara. Renegosiasi kontrak adalah perintah konstitusi UUD 1945 yang mengamanatkan pertambangan strategis perlu dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat.
Namun, sampai saat ini, Freeport dan pemerintah belum sepakat untuk membangun smelter di Papua. Freeport berkukuh tetap membangun smelterdi Gresik, Jawa Timur, berpartner dengan Mitsubishi Material Corp.
Pembangunan smelter baru ini juga untuk mengantisipasi produksi tembaga dari tambang underground; Deep Ore Zone Block Cave, Big Gossan, Deep Mill Level Zone Block Cave, dan Grasberg Block Cave, sebesar 24.000 pound tembaga tahun 2018.
Padahal, pilihan lokasi pembangunan smelter di Gresik tak adil. Antara Papua dan Gresik adalah jarak yang jauh. Melintasi pulau yang jauh dan melewati lautan luas minus infrastruktur laut.
Lokasi yang jauh membutuhkan logistik pengangkutan. Pilihan lokasi pembangunan smelter di Gresik menyebabkan Papua kehilangan kesempatan investasi karena produk ikutan dari tembaga sangat banyak.
PT Smelting yang berkapasitas 300.000 ton, misalnya, memproduksi sulfuric acid (920.000 ton per tahun), gypsum (35.000 ton, untuk industri semen), copper slag (655.000 ton untuk semen dan beton), anode slime (1.800 ton untuk pemurnian emas dan perak), dan copper telluride (50 ton, untuk semikonduktor).
Jika smelter baru dibangun di Mimika, Papua mendapat untung besar karena produk ikutan itu akan membuka ruang bagi mekarnya proses industrialisasi di Papua.
Bukan hanya smelter. Freeport dan pemerintah juga belum sepakat soal masa berakhir kontrak. Freeport meminta perpanjangan kontrak sampai 2041, sementara kontrak berakhir hanya sampai 2021.
Ruang bagi perusahaan milik negara seperti PT Aneka Tambang Tbk untuk mendapat saham yang didivestasikan Freeport Indonesia juga tertutup karena ketiadaan dana untuk membeli saham Freeport yang amat mahal itu.
Boleh jadi, itulah sebabnya mengapa DPR tak sepakat dengan upaya pemerintah memasukkan injeksi modal senilai 3 miliar dollar AS dalam APBN 2016. Padahal, injeksi modal itu sangat penting bagi perusahaan milik negara untuk mendapat saham Freeport sehingga BUMN menjadi kuat.
Sayangnya, pemerintah dan politisi cenderung mendivestasikan saham Freeport melalui penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) di pasar modal yang tak mungkin bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat, tetapi hanya untuk kesejahteraan politisi dan pemodal yang memiliki uang banyak dan memiliki akses ke bank untuk membeli saham Freeport.
Bisnis orang kuat
Tambang Grasberg adalah tambang paling menguntungkan di dunia. Pada akhir 2010, Freeport menghasilkan penjualan 6,72 miliar dollar AS untuk Freeport McMoRan.
Tambang itu juga menghasilkan laba kotor sebesar 4,17 miliar dollar AS pada akhir 2010. Cadangan tembaga mencapai 33,7 juta pound dan emas mencapai 33,7 juta ons, selain sekitar 230.000 ton ore milled per hari.
Saking kayanya tambang Grasberg, setiap orang ingin mendapat keuntungan dari Freeport. Tak banyak publik di Tanah Air yang paham bahwa banyak juga pebisnis lokal yang turut mendapat keuntungan dari operasi tambang Grasberg.
Perusahaan-perusahaan lokal ini tak terjun langsung dalam operasi produksi, tetapi mereka hanya menyediakan jasa, berupa penyedia jasa pelabuhan untuk bongkar-muat bahan tambang, jasa pemasok BBM, sampai pada jasa pemasok katering untuk ribuan karyawan Freeport Indonesia.
Itulah sebabnya mengapa politisi Senayan meminta jatah 49 persen saham PLTU Urumuka.
PT Ancora International Tbk (OKAS), misalnya, menyediakan pasokan ammonium nitrate (bahan peledak) sebesar 40.000 ton tahun 2011 dan meraup pendapatan Rp 281 miliar dari Freeport.
PT Kuala Pelabuhan Indonesia (anak usaha PT Indika Energi Tbk) menyediakan jasa pelabuhan dan untung Rp 233 miliartahun 2011.
Darma Henwa (Bakrie Group) mengantongi kontrak senilai 11 juta dollar AS untuk membangun dua terowongan 4,8 kilometer dan akses jalan 4.000 meter. Sementara Pangan Sari Utama menyediakan katering seluruh karyawan Freeport. Bisnis ini tentu bukan bisnis kecil, tetapi bisnis ratusan miliar rupiah.
Semua perusahaan-perusahaan di atas adalah milik orang-orang kuat di Republik ini. Freeport adalah bisnis orang kuat; politisi, penguasa partai politik dan pengusaha yang memiliki akses dekat dengan penguasa atau yang memiliki nilai tawar besar dengan pemerintah.
Pola kerja sama Freeport dengan perusahaan-perusahaan lokal tergantung dari rezim yang memimpin Republik.
Pada zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Freeport Indonesia lebih memberi karpet merah kepada perusahaan-perusahaan swasta nasional yang dekat akses kekuasaan.
Sementara pada zaman pemerintahan Jokowi-Kalla, pola kerja sama itu kelihatan akan bergeser ke perusahaan milik negara (BUMN). Pergeseran ini boleh jadi karena pemerintahan Jokowi-Kalla mau memberi ruang besar kepada perusahaan BUMN dalam membangun negeri ini.
Freeport Indonesia telah melakukan penjajakan kerja sama dengan PT Bukit Asam (Tbk), PT Pindad, dan PT Bahana untuk meningkatkan penyerapan penggunaan barang dan jasa dalam negeri atau lokal konten dengan harga yang kompetitif.
Direktur Utama PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin mengatakan realisasi belanja lokal Freeport Indonesia per 10 Juli 2015 mencapai 422 juta dollar AS. (Baca Kontan.co.id, 20/9/2015)
Jika kerja sama dengan BUMN terealisasi, perusahaan-perusahaan seperti Ancora Resources dan AKR Corporindo merugi.
Begitupun jika Freeport diwajibkan membangun smelter di Papua, maka PT Kuala Pelabuhan Indonesia (PT Indika Energi Tbk) yang menyediakan jasa pelabuhan untuk Freeport tak dapat mengais untung lagi dari Freeport.
Begitupun perusahaan jasa pengangkutan konsentrat, seperti Meratus Line (Charles Menero), akan merugi karena tak bisa mengangkut konsentrat dari Mimika menuju smelter Freeport di Gresik.
Ketika pemerintah pada Januari 2014, mengeluarkan kebijakan larangan ekspor mineral mentah ke luar, pasti banyak perusahaan pengapalan yang mendapat jatah bisnis dari Freeport berteriak kencang, karena tak ada lagi pasokan bahan tambang untuk diekspor.
Perusahaan lokal yang mendapat untung dari Freeport tentu bukan karena faktor kompetensi dan kinerja mereka dalam bidangnya masing-masing.
Jika begitu soalnya, tentu masih banyak perusahaan lokal lain yang lebih kompeten dari mereka. Perusahaan itu justru menjadi mitra bisnis Freeport, karena pemiliknya adalah orang-orang kuat di negeri ini.
Bagi Freeport Indonesia, mendapat mitra bisnis yang dekat dengan penguasa, akan mempermudah ekspansi bisnis mereka di Grasberg.
Keamanan investasi mereka juga bisa terjaga dan tekanan pebisnis lokal untuk menyerukan nasionalisasi Freeport mengecil. Sementara, bagi penguasa, masuknya perusahaan lokal untuk berbisnis dengan Freeport sebagai balas budi karena memang mereka telah banyak mengeluarkan dana ketika kampanye pemilihan pemimpin negeri ini.
Korporasi lokal-global kemudian bahu- membahu membendung renegosiasi kontrak.Padahal, baik korporasi global maupun korporasi lokal memiliki karakter sama.
Dua-duanya tak dapat menjamin keadilan sosial, mengangkat derajat kaum miskin alias membunuh demokrasi dengan bendera logika kepentingan diri (self-interest).
Jika renegosiasi kontrak gagal, pemerintah kehilangan momen mengembalikan amanat konstitusi UUD 1945 dan korporasi tetap permanen menjarah habis kekayaan negeri alam kita di Grasberg, Papua.
Kesejahteraan rakyat terbengkalai, lingkungan tak terurus, dan pembagian keuntungan tak adil.
Pelanggaran hak asasi manusia, seperti tragedi kematian yang merenggut nyawa 28 pekerja di lubang tambang Big Gossan (14/5/2013) milik Freeport diabaikan begitu saja.
Semua itu terjadi karena multi-kepentingan yang ingin mengais untung dari Freeport.
Kembalikan martabat konstitusi
Langkah Menteri ESDM melaporkan politisi Senayan yang ingin mendapat jatah bisnis Freeport perlu kita dukung.
Langkah itu penting untuk membongkar kepentingan politik yang menghambat renegosiasi kontrak dan sebagai bagian dari reformasi tata kelola kelembagaan DPR.
DPR bertugas mengawasi kinerja pemerintah untuk mempercepat renegosiasi kontrak Freeport agar tak keluar dari konstitusi UUD 1945. Renegosiasi harus dapat meningkatkan penerimaan negara agar rakyat sejahtera.
DPR seharusnya mengawal kinerja pemerintah agar Freeport membangun smelter di Papua, bukan bekerja meminta jatah saham atau menarik untung berbisnis bersama Freeport.
Pembangunan smelter di Papua dapat meningkatkan efek pengganda (multiplier effect) bagi pembangunan dan mengurai kesenjangan pembangunan di Papua.
Pembangunan smelter di Papua penting untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa, termasuk Papua.
Nasionalisasi Freeport memang tak mudah karena pemerintah harus berhadapan dengan multi-kepentingan, baik negara asal Freeport, Amerika Serikat, maupun pengusaha lokal yang mengais untung dari Freeport. Maka, butuh pemimpin tegas dan kuat untuk mengembalikan kedaulatan tambang kita di Grasberg ke pangkuan konstitusi UUD 1945.
Pemimpin tegas tak loyo berhadapan dengan kekuatan asing dan oligarki politik lokal.
Demi mengembalikan martabat konstitusi UUD 1945, Presiden perlu mengambil keputusan tegas agar tak memperpanjang kontrak karya Freeport setelah tahun 2021, jika perusahaan itu tak mau membangun smelter pengolahan tembaga di Papua, mendivestasikan saham ke pihak nasional, menciutkan luas lahan, dan menaikkan penerimaan negara, sesuai dengan isi poin renegosiasi kontrak.
Akhirnya, Presiden harus diingatkan bahwa tambang di mana saja akan habis cadangannya jika dieksploitasi besar-besaran.
Penurunan deposit tambang, seperti tembaga menunjukkan bahwa sektorpertambangan selalu ada titik puncak berhenti berproduksi.
Investor hanya menginvestasikan modalnya pada saat lokasi pertambangan masih memiliki potensi tinggi. Setelahnya, mereka akan melepaskan areal pertambangan dan meninggalkan kerak-kerak tambang tanpa adanya reklamasi pasca tambang.
Ferdy Hasiman
Peneliti pada Indonesia Today, Jakarta
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 November 2015, di halaman 6 dengan judul "Freeport dan Bisnis Orang Kuat".
Sumber : Harian Kompas