TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asep Warlan Yusuf, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan, Bandung, Jawa Barat, menyebut minimal ada dua persoalan serius lainnya terkait kasus terbongkarnya rekaman Ketua DPR Setya Novanto yang kabarnya mencatut nama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla.
“Selain menyangkut Setya Novanto, ada persoalan lain yang menurut saya yang juga tidak kalah pentingnya selain dugaan pencatutan nama. Yaitu proses penegakan hukum dan demokrasi juga masalah konstitusional utamanya terkait pasal 33 UUD 45. Ini luput dari perhatian dan masyarakat hanya fokus pada Setya Novanto saja,” ujar Asep ketika dihubung Jumat (20/11/2015).
Menurut Asep, proses pengambilan rekaman tanpa seizin yang bersangkutan dan kemudian disebarkan juga tanpa izin, adalah proses melanggar hukum.
Terlepas dari kebenaran isi rekaman tersebut jika hal ini bisa digunakan sebagai bukti hukum, maka bukan tidak mungkin masyarakat juga bisa dijebak dengan yurisprudensi pada kasus ini.
“Yang namanya merekam apalagi sampai menyebarkan ini harus seizin yang bersangkutan. Kalau pengusaha saja bisa menjebak seorang pimpinan lembaga tinggi negara seperti ini, bisa dibayangkan jika penguasa melakukan hal seperti ini pada rakyatnya? Dampak ini yang harus dipikirkan,” kata Asep.
Disebutkan, rakyat nantinya akan ketakutan untuk berbicara dan mengkritik penguasa karena khawatir setiap pembicaraannya bisa direkam oleh siapapun untuk dilakukan proses hukum pada dirinya.
”Jika ada yang bicara jelek tentang penguasa dan kemudian ada yang melaporkan, kemudian orang tersebut kemudian ditindak atas dugaan pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan, repot rakyat nantinya,” ujarnya.
Proses penegakan hukum, kata Asep harus dilakukan juga sesuai dengan hukum. Penegakan hukum tanpa menggunakan aturan hukum, maka akan menyebabkan kesewenang-wenanngan.
Latihan Soal & Jawaban PKN Kelas 1 SD Bab 2 Semester 1 Kurikulum Merdeka, Aku Anak yang Patuh Aturan
40 Soal Sumatif Bahasa Indonesia Kelas 4 UTS Semester 1 Kurikulum Merdeka 2023 Lengkap Kunci Jawaban
“Ini seharusnya juga diperhatikan, penegakan hukum tidak bisa dilakukan dengan melanggar hukum,” katanya.
Hal ini nampaknya disadari oleh pemerintah yang hanya melaporkan Setya Novanto ke MKD tanpa melaporkan ke aparat penegak hukum.
Pemerintah nampaknya sadar bahwa jika hal ini dilaporkan ke aparat hukum, maka Setya Novanto bisa menuntut balik karena bagaimanapun rekaman ini tidak bisa dijadikan bukti hukum.
“Jika bukti didapatkan tidak melalui proses hukum yang benar, maka pengadilan pun bisa menolak dan membatalkan bukti yang diajukan. Bahkan bukan tidak mungkin pihak yang digugat bisa menuntut balik. Ini makanya saya lihat pemerintah pun enggan melaporkan ke aparat hukum dan hanya melaporkan ke MKD. Makanya Menkopolhukam pun buru-buru mengatakan bahwa presiden tidak akan memperpanjang dan melaporkan kasus ini,” ujar Guru Besar Hukum Tata Negara ini.
Asep pun membandingkan kasus rekaman video artis Ariel Peterpan dengan beberapa wanita. Ariel dikenakan hukuman karena merekam tanpa izin dan penyebarnya juga dikenakan hukuman.
”Yang wanitanya kan tidak dikenakan hukuman. Masalah bahwa para wanita tersebut melanggar hukum agama atau hukum pernikahan kan tidak diadili. Kalau pidananya adalah asusila, maka semua wanita yang terlibat juga harus kena juga saat itu. Ini nampaknya yang dikhawatirkan oleh si pelapor, merekam dan menyebarkan tanpa izin,” ujarnya.
Sementara untuk laporan MD3 itu sangat tergantung pada DPR sendiri sebagai lembaga.
Proses yang terjadi di DPR itu adalah proses politik dan bukan proses hukum pidana umum, sehingga bisa saja meski ada bukti-bukti yang kuat, legislatif memutuskan Novanto tidak bersalah, seperti pada kasus Clinton.
“Seperti pada kasus Bill Clinton dan Monica Lewensky. Meski terbukti ada tindakan asusila dan terbukti bahwa Bill Clinton berbohong, senat AS memutuskan bahwa Clinton tidak bersalah dan proses pengadilan impeachtment pun gagal. Jadi berkaca pada kasus ini justru yang bisa kena kasus Sudirman Said dan Novanto bebas,” ujarnya.
Menurutnya, kasus ini juga kembali membuka mata rakyat Indonesia, bahwa banyak yang tidak beres dengan PT Freeport Indonesia selama menjalankan operasinya di Indonesia.
Bukan hanya persoalan pembagian yang tidak adil bagi Indonesia, juga ada banyak hal lain yang selama ini melanggar hukum dan didiamkan.
“Utamanya pelanggaran UUD pasal 33 dimana disebutkan bumi air dan semua yang terkandung didalamnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sekarang yang dapat besar rakyat apa PT Freeport? Kalau Freeport yang mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari rakyat, itu pelanggaran konstitusi,” ujarnya.
Dengan kasus ini seharusnya juga membuka mata rakyat Indonesia bahwa izin Freeport di Indonesia juga tidak boleh diperpanjang lagi dan kalau perlu izin yang sudah ada dibatalkan.
Kasus ini sekaligus juga menjadi bukti bahwa Freeport melakukan berbagai cara termasuk dengan melakukan loby-loby selama ini.
”Jadi jangan hanya melihat Novantonya, tapi juga harus melihat Freeportnya. Jangan-jangan negosiasi-negosiasi seperti ini sudah sering mereka lakukan sebelumnya. Masyarakat juga harus melihat pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Freeport di Indonesia. Kalau bisa dibuktikan PT Freeport selama ini melanggar aturan hukum yang berlaku di Indonesia, maka sebenarnya kontrak bisa dibatalkan,” kata Asep Warlan Yusuf.