TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Majelis Kehormatan Dewan (MKD) DPR dari Hanura, Syarifuddin Sudding menduga upaya penghentian kasus dugaan pelanggaran etik Setya Novanto terkait PT Freeport tidak terlepas karena ada yang resah atau ketar-ketir Setya Novanto bakal kena sanksi sedang dari MKD berupa pencopotan jabatan Ketua DPR.
Sebab, sebelumnya Novanto telah mendapat sanksi teguran atas pelanggaran ringan kasus Triumpgate.
Indikasinya terlihat dengan upaya keras, mulai pergantian anggota dan pimpinan MKD dari Golkar, dorongan agar MKD merekomendasikan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) terkait PT Freeport hingga mempermasalahkan kembali atau menganulir keputusan rapat MKD 24 November 2015 lalu.
"Saya kira Anda bisa duga, bisa terka sendiri karena sidang sebelumnya sudah ada keputusan yang dijatuhkan MKD itu, yaitu hukuman ringan. Sementara, akumulasi sebuah pelanggaran itu sudah masuk ke pelanggaran sedang. Apa hukuman pelanggaran sedang, konsekuensinya jelas," kata Suding usai rapat internal MKD di Gedung DPR, Jakarta, Senin (30/11/2015).
Sebelumnya, Setya Novanto selaku Ketua DPR telah divonis bersalah melakukan pelanggaran ringan dan dijatuhi hukuman teguran lisan atas perbutannya ikut dalam kegiatan kandidat calon presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.
Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Kode Etik mengatur kualifikasi dan sanksi pelanggaran ringan, sedang dan berat. Pasal 20 mengatur, sanksi sedang dijatuhkan bagi anggota yang mengulangi perbuatan atas pelanggaran kode etik ringan dan mendapatkan sanksi. Pasal 21 mengatur, sanksi sedang berupa pemindahan keanggotaan pada alat kelengkapan DPR (AKD) atau pemberhentian dari jabatan pimpinan DPR atau pimpinan AKD.
Dalam kasus terbarunya, Menteri ESDM Sudirman Said melaporkan Novanto kepada MKD dengan sangkaan mencatut nama Presiden Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla untuk meminta saham kosong dan proyek pembangkit listrik di Timika, Papua, saat bertemu Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin.
Sebagai alat bukti, Sudirman menyerahkan rekaman dan transkrip percakapan antara Setya, yang didampingi pengusaha M Riza Chalid, dengan Maroef tersebut.
Sedianya rapat internal MKD yang digelar tertutup pada Senin (30/11/2015) membahas penyusunan jadwal sidang atas kasus dugaan etik Setya Novanto terkait PT Freeport tersebut, sebagaimana keputusan rapat MKD 24 November 2015.
Namun, perbedaan pendapat di antara anggota dan pimpinan MKD membuat atmosfer rapat tersebut berlangsung panas hingga ada seorang pimpinan MKD menggebrak meja. Akhirnya, rapat itu ditunda tanpa ada keputusan jelas dan dilanjutkan pada Selasa (1/12/2015) siang ini.
Rapat MKD pada 24 November 2015 lalu telah memutuskan, bahwa laporan kasus dari Menteri ESDM Sudirman Said tentang dugaan pelanggaran etik Setya Novanto adalah sebuah perkara sehingga layak dibawa ke persidangan. Rapat kala itu juga memutuskan rapat lanjutan MKD digelar pada Senin, 30 November 2015 dengan agenda penyusunan jadwal persidangan, di antaranya mengagendakan pemeriksaan pelapor, saksi-saksi, bukti-bukti, pemeriksaan terlapor hingga jadwal pengambilan keputusan.
Namun, sebelum rapat perdana Senin petang itu dilaksanakan, Fraksi Partai Golkar menggantikan tiga orangnya yang duduk sebagai anggota dan pimpinan MKD. Ketiga orang baru MKD itu adalah Kahar Muzakir (Wakil Ketua), Adies Kadir dan Ridwan Bae.
Seusai pelantikannya, ketiganya kompak ingin agar MKD menghentikan sementara penanganan kasus dugaan pelanggaran etik Novanto. Mereka mendorong agar MKD lebih fokus pada masalah yang lebih besar terkait PT Freeport sehingga diperlukan rekomendasi pembentukan Panitia Khusus (Pansus) untuk penyelidikan dugaan pelanggaran perusahaan asal Amerika Serikat itu.
Upaya itu belum selesai. Menurut Sudding, ketiganya dalam rapat perdana itu juga tidak mengakui atau menolak dan menganulir hasil rapat MKD 24 November 2015. Mereka 'ngotot' ingin MKD kembali memverifikasi legal standing atau dasar hukum bisa atau tidaknya Sudirman Said selaku menteri menjadi pelapor dan menginginkan MKD memverifikasi dan menguji kebenaran isi seluruh bukti rekaman serta transkrip dari Sudirman Said.
Alasan mereka, bahwa ahli bahasa yang dihadirkan ke MKD untuk mengetahui legal standing Sudirman Said selaku menteri sebagai pelapor perkara tersebut tidak tepat atau tidak capable. Dan seharusnya ahli yang perlu dimintai keterangan oleh MKD untuk hal itu adalah ahli hukum tata negara.
Sementara, alasan mereka ingin verifikasi dan validasi seluruh barang bukti perlu dilakukan karena rekaman dan transkrip yang diserahkan oleh Sudirman Said ke MKD tidak utuh dan tidak sinkron. Dengan begitu, laporan Sudirman Said belum bisa disimpulkan sebuah perkara dan tidak bisa disidangkan.
Sudding tak membantah, upaya-upaya ketiga orang itu mengesankan, bahwa sebagai anggota dan pimpinan MKD harus berupaya mementingkan kepentingan atau menyelematkan rekannya masing-masing saat sedang berperkara di MKD.
"Saya kira Anda bisa tebak tanpa saya jawab sendiri, bagaimana dengan adanya rotasi dan segala macam itu."
Sudding menegaskan, MKD tidak bisa merekomendasikan pembentukan pansus karena fokus kerja lembaga ini adalah pengadil etik anggota Dewan. Lagipula, pembentukan pansus tersebut telah mempunyai ruang dan mekanisme tersendiri di DPR.
"Bahwa kemudian ada yang mengusulkan ini dimasukkan dalam Pansus, silakan saja fraksi-fraksi, kan ada mekanismenya, yaitu kalau ada anggota yang menandatangani, pengusulan dibawa ke Pansus, lalu diparipurnakan. Proses yang di MKD tidak bisa dihentikan," tandasnya.
Ia pun mengingatkan, bahwa p tata tertib atau SOP beracara MKD yang ada, bahwa bukti yang diserahkan pelapor ke MKD tidak harus utuh atau lengkap, tapi bukti permulaan yang cukup. Adapun, kelengkapan dan kebenaran materi bukti, seperti rekaman dan transkrip, akan dibuktikan dalam pemeriksaan alat bukti tersebut di persidangan, termasuk mengkonfirmasinya kepada pihak pelapor.
"Itu adalah proses pemeriksaan dalam proses pembuktian. Jadi bukan di awal laporan, 'Lho ini benar atau tidak'. Lagipula banyak juga dalam proses di MKD itu yang diputus bebas karena tidak didukung bukti kuat."
Sudding mengingatkan, setiap anggota dan pimpinan harus mematuhi tata beracara MKD yang ada sehingga keputusan yang sudah diputuskan dalam rapat MKD pada 24 November 2015 lalu tidak bisa dianulir. "Ini kepentingan Mahkamah. Jangan seenaknya karena terjadi perbedaan pandangan, kemudian ada keputusan yang sudah diputuskan Mahkamah, tapi ada orang-orang yang baru datang ujug-ujug ingin membatalkan. Apa jadinya nanti," ujarnya.
Sudding pun menyindir Surahman Hidayat selaku Ketua MKD yang berasal dari PKS justru tidak mempunyai sikap tegas dalam memimpin rapat. "Karena terjadi perbedaan pandangan, Ketua MKD juga tidak ingin ambil suara terbanyak atau voting, dia selalu menginginkan suara bulat, yah sulit. Padahal, mekanisme itu ada. Akhirnya yah rapat ditunda," ujarnya.
Sudding meyakini upaya-upaya penghentian kasus dugaan pelanggaran etik Ketua DPR ini akan berlanjut pada hari-hari MKD bekerja ke depan.
"Upaya ke arah sana ada. Kalau tidak ada upaya itu, yah sekarang ini sudah ditetapkan jadwal sidang," tukasnya.