TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tanpa menunggu hasil sidang Majelis Kehormatan Dewan (MKD), Kejaksaan Agung gerak cepat menyelidiki rekaman percakapan Ketua DPR, Setya Novanto (Setnov atau SN) dengan petinggi PT Freeport Indonesia dan seorang pengusaha minyak Reza Chalid.
Padahal dua institusi penegak hukum lainnya yaitu, Polri dan KPK memilih menunggu hasil sidang MKD.
Tapi Kejaksaan Agung (Kejagung) malah mengabaikan apapun putusan hasil sidang MKD yang saat ini tengah berlangsung.
Dalam penyelidikan awal, Kejagung menduga Setnov dan pengusaha Riza Chalid melakukan pemufakatan jahat hingga berujung tindak pidana korupsi sesuai Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut pengamat hukum Universitas Airlangga Ahmad Mukhlis, upaya Kejagung yang ngotot menangani kasus SN merupakan upaya Kejagung dalam memperbaiki citranya.
"Kejaksaan seperti tebang pilih perkara. Ketika masih banyak kasus korupsi yang mangkrak, kejaksaan malah menjadikan momen kasus SN untuk perbaikan citra. Padahal masih banyak kasus yang lebih penting ketimbang kasus SN," tegas Mukhlis kepada wartawan, Kamis (3/12/2015).
Diutarakan Mukhlis apabila kejaksaan tidak ingin tebang pilih dalam penanganan kasus dugaan korupsi, seharusnya Kejaksaan segera memeriksa oknum jaksa yang disebut-sebut dalam persidangan dugaan suap kasus Bansos Pemprov Sumatera Utara.
"Kalau mengacu pada rekaman, apakah SN sudah mengakui? Kejagung semangat sekali menyelidiki kasus tersebut. Berbeda dengan kesaksian terdakwa atau saksi kasus Bansos yang mengutarakan telah memberikan uang untuk oknum jaksa di Kejagung. Apakah Jampidsus melakukan perlakuan yang sama?," tutur Mukhlis.
Mukhlis melanjutkan sikap Polri maupun KPK yang memilih menunggu putusan MKD adalah tepat. Sebagai penegak hukum, baiknya kejaksaan harusnya menunggu MKD mengeluarkan putusan.
"Jika kejaksaan memaksakan untuk menyelidiki kasus SN saat ini, sama saja berkonspirasi untuk intervensi sidang MKD," tambahnya.