TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebenarnya tak terlalu mengherankan jika sidang Mahkamah Kehormatan Dewan, Senin (7/12/2015), yang menghadirkan pihak teradu, yaitu Ketua DPR Setya Novanto, akhirnya digelar tertutup.
Sejak sehari sebelumnya, kabar bahwa persidangan MKD "Yang Mulia 'masuk angin'" sudah beredar. Termasuk hasil voting terbuka-tertutup yang dimenangi Novanto.
Tuduhan "Yang Mulia 'masuk angin'" sudah terlihat ketika sidang MKD yang seharusnya dimulai pukul 09.00 di Lantai 2 Gedung Nusantara II, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, ditunda hingga pukul 12.50 dengan alasan adanya aktivitas lain.
Padahal, penundaan sidang disebut-sebut karena permintaan Novanto yang hari itu akan didengar kesaksiannya setelah dilaporkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden dalam pembagian saham terkait perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia (FI) belum lama ini.
Pencatutan nama terungkap dalam transkrip rekaman pembicaraan pada 8 Juni lalu antara Novanto, Presiden Direktur PT FI Maroef Sjamsoeddin, dan pengusaha migas M Riza Chalid.
Memang, di ruang kerja Setya di Lantai 3 Gedung Nusantara III, sejumlah anggota Fraksi Partai Golkar, seperti Roem Kono dan Yopi Kardinal, tengah mendiskusikan persiapan kehadiran Novanto. Termasuk, mempersiapkan jawaban atas pertanyaan yang diajukan majelis hakim MKD. Seusai berdiskusi dan menuju ruang sidang MKD, mereka terlihat berdoa.
Meskipun 50-an pasukan Pengamanan Dalam (Pamdal) DPR bersama pers yang menunggu masuknya Novanto ke ruang sidang sudah bersiap-siap sejak pagi, ternyata mereka terkecoh.
Novanto yang ditemani Roem Kono tak melintasi barikade pamdal. Mereka memutar melewati tempat parkir lantai dasar dan muncul dari lorong yang menghubungkan Gedung Nusantara II dengan Gedung Nusantara I.
Jangankan mewawancarai, memotret Novanto saja tak bisa sebab Novanto langsung masuk ke ruang rapat MKD. Sejak itu, pintu ruang sidang MKD tertutup rapat.
Sidang yang seharusnya terbuka lebih dulu untuk publik sebelum diputuskan tertutup ternyata benar-benar disengaja tertutup sejak awal. Berbeda dengan dua sidang sebelumnya yang dapat disaksikan oleh publik saat MKD memeriksa Sudirman dan Maroef.
Jangan heran jika sidang yang tertutup itu pun menimbulkan spekulasi bahwa MKD memang sudah "masuk angin". Apalagi setelah mayoritas anggota MKD memutuskan pemeriksaan Novanto dinyatakan tertutup.
Sejak awal, dari 17 anggota MKD, 5 orang anggota MKD bersikeras meminta sidang terbuka. Mereka adalah Akbar Faizal (Nasdem), Sarifuddin Sudding (Hanura), Guntur Sasono (Demokrat), dan Darizal Basir (Demokrat). Adapun Junimart Girsang (PDI-P) ikut menyela meminta persidangan terbuka. Sementara mayoritas anggota MKD lainnya memilih tertutup.
Namun, Kahar Muzakir yang memimpin sidang memilih untuk menghormati apa yang diminta Novanto agar sidang dinyatakan tertutup.
Pergantian orang
Sebelum MKD menggelar sidang, pekan lalu, "Yang Mulia 'masuk angin'" sebenarnya sudah terlihat. Saat itu, sejumlah fraksi mengganti anggotanya di MKD. Dari 17 anggota, 8 orang di antaranya diganti.
Pergantian terbanyak dilakukan oleh Fraksi Partai Golkar, yakni sebanyak tiga orang. Bahkan, Wakil Ketua MKD Hardisoesilo pun digantikan oleh Kahar Muzakir.
Banyak kalangan di DPR yang tahu bahwa Kahar Muzakir disebut-sebut orang dekatnya Novanto. Bahkan, nama keduanya sempat dikait-kaitkan dalam kasus penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional di Pekanbaru, Riau.
Selain pergantian, sejak awal persidangan MKD, pernyataan yang dilontarkan mayoritas anggota MKD yang dipanggil "Yang Mulia" dalam sidang juga terlihat menyudutkan pengadu Menteri ESDM dan saksi Maroef.
Terlihat bagaimana "Yang Mulia" itu justru mempersoalkan hal-hal yang tak substantif, seperti legalitas rekaman serta motif saksi merekam pembicaraan dengan Novanto dan Riza.
Saat meminta penjelasan Maroef, Kamis pekan lalu, misalnya, anggota MKD dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Zainut Tauhid, mengajukan pertanyaan yang konyol. "Apakah saat merekam Saudara meminta izin dulu?" tanya Zainut.
Politikus PPP itu pun menyatakan bahwa tindakan Maroef merekam pembicaraan tanpa izin melanggar undang-undang.
"Tindakan memata-matai bukan oleh penegak hukum itu melanggar Pasal 26 dan Pasal 32 UU ITE. Ancaman hukumannya 10 tahun penjara. Artinya, tindakan Saudara melanggar, apakah Saudara tahu?" kata Zainut.
Anggota MKD dari Fraksi Partai Amanat Nasional, A Bakrie, lebih unik lagi.
"Awalnya Anda menyerahkan (rekaman) 11 menit, kenapa sekarang ini diserahkan lebih lengkap lagi? Apa maksudnya ini? Apakah ada maksud lain? Terus terang saja karena di sini, Anda lebih dominan mengadukan Pak Novanto ke MKD. Padahal, di rekaman ada banyak nama, kenapa tidak Anda laporkan juga?" tuturnya.
Kecurigaan MKD "masuk angin" memang semakin kuat setelah beredar isu operasi senyap yang dilakukan sejumlah pihak.
"Upaya (suap) itu memang ada, tetapi kami tidak terpengaruh sama sekali. Kami akan tetap berjalan sesuai UU," tutur Wakil Ketua MKD dari Fraksi PDI-P, Junimart Girsang.
Ditambah adanya anggota MKD dari F-PPP, Zainut Tauhid, yang tiba-tiba diganti oleh A Dimyati Natakusumah, isu "Yang Mulia 'masuk angin'" terus merebak.
Terbukti, Dimyati langsung mengikuti sidang MKD setelah Setya menandatangani Surat Keputusan Peresmian Pergantian Anggota, Senin pagi.
Di tengah berbagai isu tersebut, Sekretaris Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo menulis dalam status BBM-nya, "#Bingung. Pilih Integritas/Isi Tas?" (NTA/AGE)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Desember 2015, di halaman 2 dengan judul "Antara Integritas dan 'Isi Tas'".
Sumber : Harian Kompas