TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Pembinaan Jaringan Kerjasama Antar Komisi dan Instansi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sujanarko melihat pentingnya beberapa perbaikan di internal KPK.
Dia pun setuju perbaikan itu melalui revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Revisi UU KPK juga menurutnya harus mengakomodir dibentuknya lembaga pengawasan. Dia juga mengatakan, perbaikan dewan pengawas merupakan rekomendasi dari PBB.
Namun ia menyarankan, pembentukan lembaga pengawas KPK ini ditunjuk Presiden tanpa izin dari DPR dan terdiri dari 15 orang dari kalangan masyarakat dan pemerintah.
Sujanarko juga setuju soal adanya proses penghentian perkara atau dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Ini untuk mengantisipasi adanya peristiwa tertentu.
"SP3 hanya diberikan pada orang yang tidak bisa mampu menjalani proses hukum. Percuma tidak bisa memberikan kesaksian tapi tidak ada SP3 itu sesuatu yang tidak adi" ujarnya dalam tes kepatutan dan kelayakan Capim KPK di Komisi III DPR RI, Senin (14/12/2015).
Sedangkan soal penyadapan, Sujanarko mengaku tak paham betul mengenai SOP-nya di KPK. Karena itu dia belum berani menyatakan apa-apa terkait usulan revisi bagian itu.
"Saya tak tahu persis SOP penyadapan. Penyadapan di KPK sangat rigid. Penyidik dan penyelidik tidak bisa membaca seluruh hasil penyadapan, hanya summary. Kalau tidak puas, persetujuan ke pimpinan untuk meminta transkip," imbuhnya.