Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Kehadiran dan keterangan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan memang bukan bagian penting dari peradilan etika menyangkut teradu Ketua DPR Setya Novanto.
Menurut pengamat politik Adhie Massardi, hal penting dari keterangan Luhut lebih menjelaskan substansi dari persoalan sebenarnya di balik isu 'Papa Minta Saham".
Kata dia, kunci dari substansi masalah ini jadi isu politik besar ada pada pernyataan Luhut soal divestasi saham PT Freeport Indonesia (PTFI).
Yakni, imbuhnya, pemerintah Indonesia tidak perlu beli saham PT FI. karena mulai 2021, ladang emas besar di Papua itu 100 persen akan menjadi milik Indonesia.
"Karena pernyataan Luhut itu kemudian juga menjadi sikap resmi pemerintah (Presiden) maka pembicaraan soal saham PT FI menjadi tidak ada nilainya. Tidak punya arti," tegas mantan Juru bicara Presiden Gus Dur ini kepada Tribun, Senin (14/12/2015).
Dalam sidang etik di MKD, Luhut menilai adalah lelocon permintaan permintaan dan pembagian saham 20 persen. Yakni 11 Persen untuk Presiden dan 9 persen kepada Wakil Presiden.
Hal ini terkait isi rekaman pertemuan Ketua DPR Setya NOvanto, Pengusaha Minyak Riza Chalid dengan Pimpinan Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin.
Latihan Soal & Jawaban PKN Kelas 1 SD Bab 2 Semester 1 Kurikulum Merdeka, Aku Anak yang Patuh Aturan
40 Soal Sumatif Bahasa Indonesia Kelas 4 UTS Semester 1 Kurikulum Merdeka 2023 Lengkap Kunci Jawaban
"Lelucon itu, karena sesuatu yang tidak mungkin. Apa mungkin dengan nilai Rp 1,7 samapai 2,1 triliun nilai saham yang akan dilakukan? Apa mungkin Freeport lakukan itu? Engak mungkin itu dilakukan Freeport," kata Luhut dalam sidang MKD, Jakarta, Senin (14/12/2015).
Ditambah lagi, Freeport melantai di Bursa New York Amerika Serikat.
"Listed di New York kalau orang mau kasih sahamnya tidak mudah," jelasnya.
Luhut mempertanyakan buat apa meminta saham?
"Tahun 2021 kalau kontrak karya Freeport tidak diperpanjang, saham itu akan menjadi milik pemerintah. Tapi kita juga ingin menjaga investasi. Ngapain keluar uang sekian miliar dolar buat beli saham? Saya tidak paham," jelasnya.
Apalagi kata Luhut, tahun 2021 nanti, Freeport akan menjadi milik pemerintahm jika tidak diperpanjang kontrak karyanya.
"Kenapa kita harus beli saham itu. karena tahun 2021 itu sudah milik Indonesia kalau tidak diperpanjangan. Itu kajian bebas kita," jelas Luhut.
"kenapa kita harus bayar mahal-mahal kalau itu nanti jadi milik kita?" demikian dipertanyakan Luhut kemudian.
Dia jelaskan, kala ia menjabat Kepala Staf Kepresidenan, tim Kantor Staf kepresidenan menilai pemerintah tak perlu merogoh kocek besar untuk membeli divestasi saham Freeport.
"Pemahaman kami, pertama mengapa kita harus bayar, toh itu nanti milik kita," tandasnya.
Luhut pun menjelaskan posisinya dan pemerintah terkait perpanjangan kontrak karya Freeport Indonesia. Yakni terdapat lima syarat.
"Syarat tersebut adalah pembangunan Papua, menggunakan kandungan lokal, divestasi saham, peningkatan besaran royalti, dan pembangunan industri pengolahan," jelas Luhut.
Luhut menegaskan dirinya sama sekali tidak anti asing.
"Saya terbuka terhadap investasi asing yang dapat membangun ekonomi indonesia, tetapi investasi harus tunduk pada undang-undang dan peraturan yang berlaku," kata dia.
Luhut mengaku berpegang teguh pada lima prinsip soal PT Freeport Indonesia ini. Pertama, berpegang teguh pada undang-undang yang berlaku.
Kedua, izin pertambangan harus memberikan hasil yang lebih besar bagi Indonesia dan memberi kemakmuran yang lebih besar kepada penduduk di provinsi tempat tambang itu berada.
Ketiga, lanjut mantan Kepala Staf Kepresidenan itu, izin pertambangan harus dapat memberikan kontribusi kepada pengembangan sektor pendidikan di provinsi tempat tambang berada.
Keempat, izin pertambangan harus dapat menciptakan nilai tambah di dalam negeri.
"Terakhir, Indonesia harus tegas dalam memaksimalkan manfaat kekayaan alamnya bagi rakyat serta tidak tunduk kepada tekanan asing," ujar Luhut.
Berdasar lima prinsip itu, Luhut mendukung syarat yang diajukan Presiden Joko Widodo dalam perihal perpanjangan kontrak Freeport.
"Lima syarat itu, yaitu pembangunan Papua, konten lokal, royalti, divestasi saham, dan industri pengolahan," imbuhnya.
"Petunjuk bapak presiden kepada saya, yakni harus merujuk pada aturan yang sudah ada. Sampai detik ini presiden masih konsisten pembicaraan freeport pada tahun 2019," jelasnya.