TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pihak Yayasan Supersemar selaku tergugat keberatan dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang mewajibkan membayar ganti rugi Rp4,4 triliun atas kasus perdata penyelewengan dana yayasan. Yayasan tidak sanggup membayar ganti rugi sebanyak itu.
Demikian disampaikan kuasa hukum Yayasan Supersemar, Denny Kailimang saat dihubungi Selasa (22/12/2015) malam.
Denny menyebut Yayasan Supersemar tidak mempunyai banyak aset lagi. Dan sebagaimana hasil audit Kejaksaan Agung pada tahun 2000, aset yayasan bentukan Presiden Soeharto itu hanya mempunyai Rp380 miliar.
Dengan begitu, adalah tidak memungkinkan pihak Yayasan Supersemar mampu membayar ganti rugi hingga triliunan rupiah. "Setelah kami lihat-lihat, asetnya nggak sampai segitu. Nggak tahu angkanya yang dituntut Kejaksaan Agung itu darimana. Kan saat audit Kejaksaan pada tahun 2000 cuma Rp 380 miliar lebih," ujarnya.
Menurutnya, kini Yayasan Supersemar tidak mempunyai aset dalam bentuk lain selain rekening yayasan di beberapa bank. Dan beberapa aset seperti, Bank Danamon dan Kosgoro seperti ramai diberitakan, bukan lagi milik yayasan.
"Sempati Air itu sudah lama, Bank Danamon juga sudah bangkrut dan diambil alih oleh negara. Jadi, sudah pasti nggak bisa bayar sebanyak itu, orang nggak ada hartanya lagi," katanya.
Denny justru menyayangkan langkah Kejaksaan Agung yang melakukan pemblokiran terhadap sejumlah rekening yayasan. Padahal, rekening-rekening itu ditujukan untuk penyaluran dana beasiswa untuk pelajar dan mahasiswa se-Indonesia.
Menurutnya, langkah kejaksaan itu melanggar hukum karena melakukan tindakan di luar kewenangannya.
"Seharusnya itu ranahnya pengadilan. Mengacu pada MA, itu tidak bisa dilakukan. Sangat disayangkan kejaksaan melanggar hukum dan sewenang-wenang," ujarnya.