TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan menggelar sidang Aanmaning untuk mengingatkan Yayasan Supersemar selaku tergugat melaksanakan putusan Mahkamah Agung agar membayar ganti rugi Rp 4,4 triliun.
"Besok, akan dilakukan pemanggilan kepada termohon, yang disebut sebagai Aanmaning," kata humas PN Jaksel, hakim Made Sutrisna saat dihubungi Selasa (22/12/2015) malam.
Rencananya sidang yang diikuti ketua pengadilan didampingi panitera dan pihak Yayasan Supersemar ini digelar di salah satu ruangan di PN Jaksel pada pukul 09.30 WIB. Pengadilan telah melakukan pemanggilan kepada pihak yayasan untuk menghadiri sidang tersebut.
Nantinya, pengadilan akan mengingatkan pihak Yayasan Supersemar selaku tergugat untuk melaksanakan putusan MA agar membayar ganti rugi sebesar Rp 4,4 triliun dalam tempo 8 hari atas perkara perdata penyelewengan dana yayasan.
Jika tidak, pengadilan akan melakukan penyitaan aset-aset terkait yayasan buatan Presiden Soeharto itu sebagai pembayaran ganti rugi.
Kuasa hukum Yayasan Supersemar, Denny Kailimang belum bisa memastikan akan mematuhi putusan MA itu. Pihaknya justru ingin meminta pihak pengadilan menunda sidang Aanmaning tersebut.
Alasannya, karena ingin menyiapkan data dahulu guna menyanggah besaran ganti rugi yang telah diputus oleh MA.
"Kami akan meminta agar sidang ditunda sampai tahun depan, paling tidak 16 Januari 2015," kata Denny.
Denny beralasan penyampaian data ke PN Jaksel selaku eksekutor putusan MA ini dikarenakan pihaknya masih berpegangan jumlah aset Yayasan Supersemar hanya sekitar Rp 380 miliar sebagaimana hasil audit Kejaksaan Agung pada tahun 2000.
Dengan begitu, adalah tidak memungkinkan pihak Yayasan Supersemar mampu membayar ganti rugi hingga triliunan rupiah.
"Setelah kami lihat-lihat, asetnya nggak sampai segitu. Nggak tahu angkanya yang dituntut Kejaksaan Agung itu dari mana. Kan saat audit Kejaksaan pada tahun 2000 cuma Rp 380 miliar lebih," ujarnya.
Menurutnya, kini Yayasan Supersemar tidak mempunyai aset dalam bentuk lain selain rekening yayasan di beberapa bank. Dan beberapa aset seperti, Bank Danamon dan Kosgoro seperti ramai diberitakan, bukan lagi terkait yayasan.
"Sempati Air itu sudah lama, Bank Danamon juga sudah bangkrut dan diambil alih oleh negara. Jadi, sudah pasti nggak bisa bayar denda sebanyak itu, orang nggak ada hartanya lagi," katanya.
Diberitakan, Negara melalui Kejaksaan Agung menggugat Soeharto (Tergugat I) dan Yayasan Supersemar (Tergugat II) atas dugaan penyelewengan dana beasiswa ke beberapa perusahaan nasional yang dekat dengan Soeharto. Namun, bukan persoalan mudah agar dana negara bisa kembali.
Pada 28 Maret 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan, Yayasan Supersemar terbukti bersalah. Putusan tersebut dikuatkan dengan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 19 Februari 2009.
Yayasan Supersemar mengajukan kasasi putusan tersebut kepada Mahkamah Agung (MA). Hasilnya, Yayasan Supersemar diperintahkan mengembalikan 75 persen dari dana yang diterima yaitu 315 juta dolar AS dan Rp 139 juta.
Kejaksaan Agung mengajukan Peninjauan Kembali (PK) putusan itu karena terdapat ketidaksesuaian nominal dari tuntutan. Sebab, seeharusnya kewajiban dana yang harus dikembalikan oleh pihak Yayasan Supersemar sebesar Rp 139 miliar dan bukan Rp 139 juta.
Pada 8 Juli 2015, MA mengabulkan PK tersebut dengan putusan bahwa Yayasan Supersemar diwajibkan membayar ganti rugi sebesar 315 Juta Dolar AS atau setara 4,25 triliun dan Rp 139 miliar rupiah atau sejumlah Rp 4,389 triliun. (Abdul Qodir)