TRIBUNNEWS.COM JAKARTA - Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pilkada (DKPP) Jimly Asshidiqie menilai Undang-Undang Pilkada terlalu Kaku.
Utamanya mengenai ketentuan maksimal selisih perolehan suara dalam mengajukan gugatan hasil pilkada ke Mahkamah Konstitusi.
Untuk diketahui, Pasal 158 ayat 1 dan ayat 2 UU Pilkada Nomor 8 Tahun 2015, mengatur bahwa syarat pengajuan sengketa, jika ada perbedaan selisih suara maksimal 2 persen dari penetapan hasil penghitungan suara KPU Provinsi maksimal 2 juta penduduk.
Sementara bagi penduduk lebih dari 2-6 juta, bila perbedaan selisih maksimal 1,5 persen.
Adapun tingkat kabupaten atau kota, jumlah penduduk di bawah 250 ribu selisih minimal 2 persen, kemudian jumlah penduduk antara 250-500 ribu selisih suara minimal 1,5 persen. Sedangkan daerah dengan jumlah penduduk 500 ribu-1 juta jiwa, minimal selisih suara 1 persen, dan daerah dengan jumlah penduduk di atas 1 juta jiwa minimal selisih suara 0,5 persen.
Semua Ketentuan itu juga dikuatkan lagi oleh Peraturan MK nomor 3 Tahun 2015.
"Saya rasa ke depan harus diperbaki lagi mengenai aturan itu. Maksimal 2 persen itu terlalu kaku. Karena itu tidak realistis untuk kami membina pemilu berintegritas," kata Jimly kepada wartawan di Jakarta, Rabu (23/12/2015).
Ditegaskan mantan Ketua MK itu, selisih maksimal 2 persen terlalu berat. Mungkin, prediksi dia, hanya10 daerah saja yang memenuhi persyaratan tersebut.
"Paling cuma 10 daerah (bisa memenuhi itu), tapi saya dengar sudah ada 144 yang mengajukan permohonan ke MK. Saya enggak tahu apa dasarnya, tetapi ya bisa saja mereka sekalian ajukan judicial Review UU pilkada," imbuhnya.