Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Pengadilan Negeri Palembang, Parlas Nababan telah melakukan kejanggalan, dengan memutus PT Bumi Mekar Hijau (BMH) tidak bersalah.
Sehingga gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLKH) kandas.
Peneliti hukum sektor kehutanan AURIGA, Syahrul Fitra, menduga Parlas Nababan telah lalai memperhatikan perundang-undangan soal kehutanan, sehingga keputusannya janggal.
Seharusnya hakim mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 45 tahun 2004, Jo PP 60 tahun 2009 tentang perlindungan hutan.
"Bahwa pemegang konsensi bertanggungjawab atas kebakaran hutan yang terjadi di dalam wilayah konsensinya," ujar Syahrul di jakarta, Rabu (6/1/2015).
Dalam kasus tersebut, hakim justru mempertimbangkan fakta bahwa PT.BMH telah mengalami kerugian dengan kebakaran tersebut.
Syahrul mengatakan bila yang dipertimbangkan hanya tanaman yang hangus, memang dapat dikatakan PT.BMH telah dirugikan.
Namun juga harus dipertimbangkan, negara jauh lebih dirugikan akibat kelalaian tersebut.
"Hakim seharusnya mempertimbangkan juga, berapa triliun rupiah yang dikeluarkan negara untuk merespon kebakaran hutan. Berapa kerugian dari penerbangan yang tertunda," jelasnya.
Dalam putusan disebut bahwa api tidak berasal dari wilayah konsensi.
Melainkan berasal dari wilayah yang dikelola masyarakat, lalu merembet hingga ke wilayah konsensi.
Syahrul mengaku sudah meriset, dan ditemukan bahwa titik api berada di tengah wilayah konsensi, dan temuan tersebut bertentangan dengan putusan pengadilan.
"Kenapa PT.BMH harus bertanggungjawab. Pertama prinsipnya dalam PP yang mengatur itu, setiap perusahaan bertanggungjawab atas pencegahan kebakaran hutan," ungkapnya.
Koalisi Anti Mafia Hutan, berharap agar KLHK tidak tinggal diam atas putusan Parlas Nababan itu.
Koalisi juga mendesak Mahkamah Agung (MA) memeriksa hakim Parlas Nababan, yang dianggap telah mengeluarkan keputusan janggal itu.