TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - DPP PDI Perjuangan mengundang pimpinan PP Muhamadiyah untuk hadir di Rakernas I. Secara khusus, DPP PDI Perjuangan menyambangi PP Muhammadiyah, Jumat (8/1/2016), sekaligus melakukan sosialisasi materi Rakernas I PDIP terkait Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB).
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto hadir di Kantor PP Muhammadiyah, Jumat (8/1) didampingi Wakil Sekjen PDIP Ahmad Basarah, Ketua DPP PDIP Hamka Haq.
Kemudian, Ketua DPP PDIP Bidang Pemenangan Pemilu Bambang DH, dan Anggota DPR Erwin Moeslimin Singajuru dan Falah Amru.
Sementara Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir menerima rombongan PDIP didampingi Abdul Mu'ti, Muhadjir Effendy, Busyro Muqoddas, Dadang Kahmad dan Suyatno.
Dalam pertemuan itu, Hasto mengawali dialog dengan mengatakan bahwa PDIP menganggap Muhammadiyah sebagai salah satu kekuatan bangsa Indonesia.
Salah satu kekuatan yang memainkan peranan penting dalam sejarah perjuangan dan mengisi kemerdekaan Indonesia.
Apalagi Bung Karno juga kader dan pernah menjadi Pengurus Muhammadiyah di Bengkulu.
Ahmad Basarah menyambung dialog dengan mengatakan PDIP mengajak Muhammadiyah untuk bersama-sama merekonstruksi sistem bernegara Indonesia kembali seperti maksud para pendiri bangsa.
"PDIP menilai saat ini bangsa Indonesia tidak lagi memiliki visi haluan negara karena GBHN sudah dihilangkan sebagai dokumen road map pembangunan semesta berencana bangsa Indonesia," papar Basarah.
"Seperti yang pada era 1960 Presiden Soekarno bersama MPRS menyusun TAP MPRS No II/MPRS/1960 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama 1961-1969,” lanjutnya.
Hasto melanjutkan, tema Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) bukanlah substansi yang mudah untuk dipahami dan dijelaskan.
Sehingga Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengarahkan kepada DPP PDIP untuk melakukan pertemuan dengan berbagai komponen bangsa dalam upaya mengembalikan sesuatu yang hilang dari sejarah berbangsa.
Atas ajakan itu, Haedar menanggapi dengan mengatakan Muhammadiyah menyambut baik rencana dan apresiasi tema rakernas PDIP.
Hal tersebut, katanya, sesuai dengan sikap PP Muhammadiyah yang menilai bahwa bangsa Indonesia perlu memiliki kembali PNSB dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
"PP Muhammadiyah menyambut kehadiran unsu DPP PDIP ini. Kami punya hubungan strategis dengan PDIP karena nyambung, sama-sama bertemu pada titik pemikiran Bung Karno," jelas Haedar.
Haedar menceritakan kisah bagaimana suatu saat Bung Karno pernah bertanya dan heran karena setelah dirinya jadi Presiden tidak pernah ditagih iuran anggota Muhammadiyah.
Pertemuan berlangsung dalam suasana akrab dan cair. Selain membicarakan hal-hal yang substansi, dialog juga dibumbui dengan sejumlah canda dan usul yang perlu dipertimbangkan.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti misalnya mengusulkan dipertimbangkan memproduksi film tentang Bung Karno.
"Perlu diproduksi film berkualitas tentang Bung Karno yang bisa mempengaruhi ide-ide generasi muda, dan menggambarkan sosok pembaharu pemikiran Islam," katanya.
"Sehingga desoekarnoisasi bisa dilawan, dan dapat digambarkan secara utuh Bung Karno yang dihormati di Indonesia dan luar negeri," usul Mu’ti.
Haedar menambahkan, Muhammadiyah siap untuk memberikan sumbang saran pemikiran terhadap PDIP sebagai partai terbesar di MPR dan DPR apabila ingin melakukan kajian akademis.
Salah satunya terhadap kemungkinan dilakukannya amandemen UUD Negara RI 1945 untuk merekontruksi pembangunan nasional melalui GBHN/PNSB dengan cara memberikan kewenangan MPR untuk kembali dapat menyusun dan menetapkan GBHN/PNSB.
Haedar menjelaskan dalam muktamar Muhammadiyah beberapa waktu lalu menelurkan Dokumen Negara Pancasila.
Dia juga menjelaskan sejumlah pakar Muhammadiyah juga melakukan penelaahan dan membukukan Indonesia Berkemajuan, Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna dan Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa.
Buku-buku tersebut diserahkan Haedar kepada Hasto diakhir pertemuan. Sementara Hasto menyerahkan buku Dibawah Bendera Revolusi, buku Sarinah dan buku Gerak Sejarah Partai Banteng.
"Kami meraskaan ada sesuatu yang hilang dalam perkembangan politik Indonesia setelah era reformasi meskipun ada juga sejumlah hal yang positif," kata Haedar.