TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia oleh pemerintah pada 22 Desember 2015 lalu merupakan kemunduran sekaligus ancaman bagi agenda reforma agraria.
Hal itu dikatakan oleh Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon.
"Pemerintah terlalu kalap mengejar pertumbuhan ekonomi sehingga mengabaikan pengambilan kebijakan yang logis, sinkron, dan memiliki horison pemikiran jangka panjang," kata Fadli di Jakarta, Rabu (13/1/2016).
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu mempertanyakan bagaimana bisa pemerintah memberikan hak pakai kepemilikan properti bagi orang asing hingga 80 tahun.
Kalau kita periksa peraturan perundangan yang lain, dalam Peraturan Pemerintah No. 40/1996, Hak Pakai, baik di atas tanah negara maupun di atas tanah hak milik pribadi, itu hanya diberikan maksimal 25 tahun saja.
"Begitu juga dalam Undang-undang No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, hak pakai hanya diberikan maksimal 70 tahun. Bagaimana bisa kepemilikan properti pribadi orang asing diberi hak yang lebih lama daripada hak pakai untuk keperluan investasi asing?! Saya benar-benar tidak habis pikir,” ujarnya.
Fadli menuturkan, kita paham bahwa seharusnya investasi itu dibiayai oleh tabungan dalam negeri.
Dan sementara tabungan dalam negeri kita masih terlalu kecil, sehingga belum bisa digunakan untuk investasi, serta di sisi lain jumlah utang kita juga sudah terlalu banyak, kita memang membutuhkan investasi asing untuk memenuhi kebutuhan likuiditas pembangunan.
Namun itu tidak kemudian berarti kita harus mengobral regulasi sedemikian rupa untuk mendatangkan dan memfasilitasi investasi tersebut. Itu namanya sudah menjual Indonesia.
Apalagi, PP No. 103/2015 tidak membatasi bahwa hak pakai itu diberikan hanya atas tanah negara, sebagaimana yang misalnya diatur dalam UU No. 5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA).
Konsekuensinya, karena hak pakai untuk orang asing itu tak dibatasi hanya untuk tanah negara, melainkan juga atas tanah hak milik pribadi, maka pemerintah akan kesulitan melakukan kontrol.
Sebagaimana yang sudah terjadi di Bali atau Lombok, PP itu bisa memicu terjadinya peralihan kepemilikan lahan ke tangan orang asing secara lebih massif lagi.
"Untuk warga negara kita saja jangka waktu hak pakai di atas tanah hak milik hanya 25 tahun, bagaimana bisa orang asing diberi hak pakai hingga 80 tahun? Kebijakan ini jelas tidak masuk akal," tegasnya.
Dalam jangka panjang, lanjut Fadli, PP tersebut akan menjadi hambatan serius bagi agenda reforma agraria di Indonesia.
Sebab, kepemilikan lahan akan semakin terkonsentrasi di tangan segelintir orang, termasuk kini orang asing.
"Sangat disayangkan, di satu sisi rezim pemerintahan saat ini kembali menghidupkan Kementerian Agraria, namun secara ironis pemerintah malah merilis kebijakan yang akan membuat agenda reforma agraria jadi makin mundur ke belakang," katanya.