TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bekas Menteri Agama Suryadharma Ali mengaku rencana pengajuan banding mereka juga dipicu sikap KPK yangmengajukan banding.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonsi Suryadharma Ali 6 tahun penjara dari 11 tahun tuntutan jaksa penuntut umum pada KPK.
Kuasa hukum Suryadharma, Humpphrey Djemat, mengatakan jika mereka tidak mengajukan banding, itu sama saja Suryadharma mengakui perbuatannya.
Humphrey menduga KPK banding agar hukuman kliennya diperberat. Untuk itu, pihaknya perlu untuk memberikan perlawanan secara hukum.
"Itu kesempatan kita. Kalau tidak ya defensif. Kita tidak mau defensif kecuali bebas jadi tidak ada masalah," kata Humhrey di KPK, Jakarta, Rabu (13/1/2016).
Humphrey berkeyakinan kliennya akan mendapatkan putusan bebas di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Pasalnya, kata dia, Suryadharma sejak awal mengaku tidak bersalah terhadap dakwaan terhadapnya.
Ketika ditanya mengenai putusan banding yang biasanya memperberat hukuman para terdakwa korupsi, Humphrey menampiknya.
Dia berpendapat kasus yang sebelumnya berbeda dengan kasus Suryadharma.
"Jangan kita lihat begitu. Kita harus percaya sama sistem pengadilan kita. Walaupun kelihatannya banyak kasus seperti itu. Tai kan tidak bisa disamakan dengan kasus Surya," tukas Humphrey.
Banding tersebut rencananya akan didaftarkan besok.
Sebelumnya, Suryadharma Ali divonis enam tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsidair tiga bulan kurungan.
Suryadharma Ali juga diperintahkan membayar pidana pengganti Rp 1,8 miliar apabila tidak dibayar maka diganti pidana penjara selama dua tahun.
Hakim menilai, bekas ketua umum Partai Persatuan Pembangunan terbukti secara sah dan meyakinkan korupsi dengan menyalahi ketentuan pelaksanaan haji antara lain mengakomodir rekomendasi anggota Komisi VII DPR sebagai PPIH, memperkaya diri dan orang lain penunjukan pemondokan dan katering jamaah haji di Saudi serta terbukti menyalahgunakan anggaran DOM 2010-2013 untuk kepentingan pribadi dan keluarga.
SDA juga disebut terbukti bersalah bersama-sama sesuai dakwaan kedua (pasal 3 jo pasal 18 UU Tipikor). Vonis yang dijatuhkan majelis lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut pidana penjara 11 tahun, denda Rp 750 juta, ganti rugi Rp 2,325 miliar dan pencabutan hak politik.