TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso telah memberikan sinyal-sinyal tentang adanya potensi serangan teroris sejak November 2015.
Aksi teror sendiri dilakukan pada Desember, tapi ditunda, dan baru dilangsungkan pada 14 Januari 2016.
Sinyal-sinyal diinformasikan BIN tepatnya menjelang Natal dan Tahun Baru 2016.
Informasi BIN telah disebarkan ke Komunitas Intelijen Daerah (Kominda) dan Komunitas Intelijen Pusat (Kominpus).
Meski telah menginformasikannya, ujar Sutiyoso, serangan yang dilancarkan oleh teroris tidak mudah dideteksi.
Hal itu juga yang dialami negara lainnya, yakni Amerika Serikat, Perancis, Thailand, dan Turki
"Indonesia mempunyai potensi serangan teroris, sudah sering saya sampaikan. Khususnya menjelang Natal dan Tahun Baru (2016). Mereka berencana melakukan aksi. Hanya karena ketatnya keamanan TNI dan Polri, serangan ditunda," ujar Sutiyoso di Kantor Pusat BIN, Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat(15/1/2016).
Aksi teror yang telah direncanakan ditunda. Lalu, Sutiyoso telah menginformasikan, bahwa serangan akan dilangsungkan pada tanggal 9 Januari 2016, namun kembali ditunda.
"Nyatanya tidak terjadi lagi. Mereka baru melakukannya pada 14 Januari," imbuhnya.
BIN, lanjut dia, telah memberikan sinyal-sinyal akan terjadi aksi teror.
Sinyal-sinyal itu, satu diantaranya pernyataan Sutiyoso di berbagai kesempatan di media mengenai sekitar ratusan kombatan ISIS yang pulang ke tanah air, 423 mantan narapidana terorisme yang sudah bebas, dan pelatihan yang diadakan oleh kelompok-kelompok radikal.
Sebelumnya, aksi teror di Sarinah terjadi pada Kamis (14/1/2016) siang.
Aksi teror dimulai setelah satu dari dua orang teroris meledakkan bom rakitan yang dibawa dalam tas ransel di dalam Cafe Starbucks Sarinah sekitar pukul 10.50 WIB.
Enam ledakan terjadi pada aksi teror tersebut. Tujuh orang tewas, lima di antaranya teroris.
Selama setengah jam, para teroris selain menggunakan peledak, juga melakukan serangan langsung terhadap polisi menggunakan senjata api.