TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pekan lalu, Presiden mengundang petinggi Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan, dua partai yang kepengurusannya dilanda perpecahan, di Istana Merdeka, Jakarta. Hal itu dilakukan Presiden pada 11 dan 12 Januari 2016.
Pertemuan yang tidak terjadwal di agenda resmi Presiden itu memunculkan pertanyaan, mengapa pemerintah berkepentingan menyelesaikan konflik dua parpol itu?
Terkait dengan pertanyaan itu, Menteri Sekretaris Negara Pratikno menuturkan, pemerintah berkepentingan membangun stabilitas politik nasional, apalagi tahun 2016 menjadi tahun percepatan kerja. Konflik di Golkar dan PPP dapat menghambat percepatan kerja pemerintah. "Demokrasi juga harus kondusif untuk percepatan pembangunan," kata Pratikno.
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menilai, logika berpikir seperti yang disampaikan Pratikno tersebut serupa dengan logika 'trilogi pembangunan' yang pernah didengungkan pada era Orde Baru.
Trilogi pembangunan itu adalah stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi, serta pemerataan pembangunan. Berangkat dari hal itu, stabilitas politik dibutuhkan jika pemerintah ingin mencapai target pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen pada tahun ini.
Menurut Yunarto, upaya mendamaikan parpol yang berkonflik bukan hal yang buruk. Konflik tak hanya melelahkan pihak-pihak yang terlibat, tetapi juga bisa membuat konstituen partai itu bisa pindah ke parpol lain. Pada saat yang sama, pemerintah tak mungkin terus menjadi penonton atas konflik partai yang terjadi.
Berbeda
Harapan agar konflik di Golkar dan PPP segera berakhir belum sepenuhnya terwujud. Seusai bertemu Presiden di Istana Merdeka, kedua kubu berkonflik, baik di Golkar maupun PPP, belum satu pemahaman.
Di PPP, misalnya, pengurus PPP hasil Muktamar Bandung 2011, Emron Pangkapi, menuturkan, kepengurusan PPP yang sah adalah kembali ke hasil Muktamar Bandung. Tugas kepengurusan itu kini adalah menyelenggarakan muktamar islah, paling lambat 2 x 14 hari terhitung mulai Selasa pekan lalu.
Namun, Ketua Umum PPP hasil Muktamar Jakarta Djan Faridz mengatakan, muktamar islah tidak dikenal dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga PPP. Faridz justru mengajak kubu Emron bergabung dalam kepengurusannya.
Sementara itu, Ketua Umum Golkar hasil Munas Bali Aburizal Bakrie berpandangan, dualisme kepengurusan di Golkar sudah selesai dengan pencabutan SK Menkumham tentang pengesahan kepengurusan Partai Golkar Munas Jakarta yang dipimpin Agung Laksono serta putusan PN Jakarta Utara dan Pengadilan Tinggi Jakarta tentang keabsahan kepengurusan Golkar hasil Munas Bali.
Agung berpendapat, masih ada jalan untuk menyelamatkan masa depan partai lewat Mahkamah Partai Golkar (MPG).
MPG yang dipimpin Muladi, Jumat pekan lalu, memutuskan membentuk Tim Transisi Penyelesaian Konflik Internal Partai Golkar. Tim yang dipimpin Jusuf Kalla ini bertugas merumuskan rencana, persiapan, dan pelaksanaan Munas Partai Golkar sebelum Maret depan.
Terkait dengan masih adanya perbedaan pandangan ini, anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, M Sarmuji, berharap ada kebijaksanaan dari pihak-pihak yang berkonflik.
"Menggeser posisi berpijak tidak berarti kehilangan kebenaran, justru akan membuka penyelesaian. Tidak ada kekuasaan yang harus dipertahankan dengan cara mengorbankan banyak orang," katanya. (Andy Riza Hidayat/C Wahyu Haryo)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Januari 2016, di halaman 4 dengan judul "Antara Istana, Golkar, dan PPP".
Sumber : Harian Kompas