TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah menyatakan tetap akan menunggu kehadiran mantan Ketua DPR Setya Novanto di Gedung Bundar Kejaksaan, meski melalui pengacaranya, Maqdir Ismail politikus Partai Golkar itu menolak hadir.
"Kami tunggu. Sampai selesai jam kerja, jam 4 sore," kata Arminsyah di Kejaksaan Agung, Kebayoran Baru, Jakarta, Rabu (20/1/2016).
Hal tersebut dilakukan Jampidsus karena pihaknya tidak menerima surat penolakan hadir dari pihak Setya Novanto.
"Sampai sekarang belum ada pemberitahuan dari yang bersangkutan maupun wakilnya apakah berhalangan apa tidak hadir karena apa," kata Arminsyah.
Mantan Jaksa Agung Muda Intelejen menyebutkan, jika Novanto benar tidak hadir pada permintaan keterangan hari ini, pihaknya tidak menutup kemungkinan untuk kembali melayangkan undangan.
"Kami masih menunggu, siapa tahu berubah pikiran akan datang," kata Jampidsus.
Permintaan keterangan dari Setya Novanto, telah diagendakan Kejaksaan Agung berlangsung pada 09.00 WIB hari ini.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Fadil Jumhana menyebutkan surat undangan pemberian keterangan telah dilayangkan pihaknya pada politisi Partai Golkar itu sejak pekan silam.
Kasus yang awam dikenal dengan Skandal Papa minta saham, bermula saat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said melaporkan mantan Ketua DPR RI Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR pada Senin (16/11/2015).
Pelaporan itu dilakukan karena Sudirman mengetahui Setya mencatut nama presiden dan wakil presiden saat bertemu Direktur Utama PT Freeport Indonesia (PTFI) Maroef Sjamsoeddin bersama pengusaha Muhammad Riza Chalid dari sebuah rekaman pembicaraan.
Dalam pertemuan tersebut, terindikasi politisi Partai Golkar itu meminta sejumlah saham PLTA Urumka, Papua yang tengah dibangun PT Freeport Indonesia (PTFI) dan berjanji memuluskan negosiasi perpanjangan kontrak karya perusahaan tambang asal negeri Paman Sam itu.
Kejaksaan melihat ada dugaan permufakatan jahat dalam pembicaraan tersebut yang dapat dijerat dengan undang-undang tindak pidana korupsi.