Laporan wartawan Tribunnews.com, Valdy Arief
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar hadir dalam sidang praperadilan permohonan mantan Dirut PT Pelindo II (Persero) Richard Joost Lino.
Zainal sebagai saksi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menjelaskan terkait pihak yang dapat menghitung kerugian negara telah diatur pada keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 31/PUU-X/2012.
Menurut Zainal berdasarkan putusan itu, selain Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), atau institusi lain yang berkemampuan menghitung kerugian keuangan negara.
"Bahkan KPK sendiri bisa menghitung jumlah kerugian keuangan negara jika punya kemampuan itu," kata Zainal Arifin Mochtar di Ruang Sidang Utama pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (21/1/2016).
Perihal penghitungan jumlah kerugian keuangan negara dipermasalahkan dalam praperadilan ini karena pengacara RJ Lino, Maqdir Ismail menyatakan hanya BPK yang memiliki kewenangan dalam menghitung kerugian negara.
Maqdir menyebutkan, sesuai KUHAP, hanya BPK dan BPKP yang dapat menghitung jumlah kerugian keuangan negara sebagai alat bukti.
Atas dasar itu, Maqdir menyatakan penetapan tersangka kliennya tidak sah.
Karena dalam kasus Lino, KPK menghitung sendiri jumlah kerugian negara dari proyek pengadaan Quay Container Crane (QCC) pada 2010.
Sebelumnya, RJ Lino mengajukan permohonan praperadilan atas status tersangkanya pada Senin (28/12/2015), melalui pengacaranya Maqdir Ismail.
Permohonan tersebut dilayangkan setelah mantan Bos PT Pelindo II, ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (18/11/2016) silam.
KPK menilai ada tindak pidana korupsi dalam pengadaan tiga unit QCC di PT Pelindo II pada 2010.
Lino yang memimpin PT Pelindo II saat itu, diduga melakukan penyalahgunaan wewenang karena menujuk langsung perusahaan asal Tiongkok, Huang Dong Heavy Machinery Co, tanpa mekanisme lelang.