Laporan Wartawan Tribunnews.com, Amriyono Prakoso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) akan mengkaji permohonan Justice Collaborator (JC) yang diajukan Damayanti Wisnu Putranti dalam kasus suap proyek di Kementerian PU dan Perumahan Rakyat.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan KPK jangan hanya berdasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) saja.
Tapi KPK pun hendaknya mengacu kepada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Dalam undang undang tersebut jelas disebutkan definisi saksi pelaku dan bagaimana penanganannya.
“KPK jangan hanya berdasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 4 Tahun 2011 saja," kata Semendawai melalui keterangannya, Jakarta, Rabu (27/1/2016).
Menurut Semendawai, keberadaan JC sebagai pihak yang berperan membongkar peran pelaku lain, juga diatur dalam Konvensi Antikorupsi yang sudah diratifikasi Indonesia.
Karena itulah, jika pemohon JC memenuhi persyaratan, sebaiknya KPK tidak segan menetapkan Damayanti sebagai JC dan memperjuangkan agar haknya sebagai JC juga terpenuhi.
“Diharapkan akan semakin banyak pihak yang mau berperan sebagai JC sehingga banyak kasus korupsi yang terbongkar,” ujarnya.
Pada Pasal 1 UU Nomor 31 Tahun 2014, jelas disebutkan, saksi pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.
Kepada saksi pelaku ini, pada pasal selanjutnya, yaitu Pasal 10A ayat (1), saksi pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikannya.
Penanganan khusus yang dimaksud dalam pasal tersebut, berupa pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara saksi pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya.