Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dokter tidak boleh lagi sembarangan menerima gratifikasi dari perusahaan farmasi.
Bahkan bagi seorang dokter berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), bila terbukti menerima gratifikasi, bisa dijerat dengan pasal korupsi.
Ketentuan tersebut adalah salah satu hasil dari pertemuan antara Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), asosiasi perusahaan farmasi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang membahas gratifikasi dokter.
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ilham Oetama Marsis, menyebut dari pertemuan itu, disepakati setiap dokter PNS harus melaporkan setiap gratifikasi yang diterima.
Bila seorang dokter PNS terbukti meneirma grarifikasi, maka ia bisa dikenai sanksi oleh asosiasi profesi, dan diserahkan ke penegak hukum bila diperlukan.
Namun ketentuan itu tidak berlaku bagi dokter PNS yang bekerja di luar jam dinas.
"Banyak dokter yang buka praktik pribadi, di luar jam dinas. Itu tidak bisa dijerat," ujar Ilham kepada wartawan di Sekretariat Pengurus Besar IDI, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (11/2/2016).
Ia mengakui ketentuan tersebut memang belum sempurna, dan menimbulkan banyak perdebatan, karena seseorang dianggap PNS hanya di jam dinasnya saja.
Padahal oknum perusahaan farmasi dan oknum PN bisa saja bermufakat jahat di luar jam dinas.
"Atau saya, saya mantan perwira di Marinir. Status anggota TNI itu kan sampai mati atau pensiun. Lalu kalau dokter TNI berpraktik di luar jam dinas bagaimana," ujar Ketua Umum IDI.
Selain itu, hasil pertemuan dengan KPK kurang mengatur soal dokter swasta. Hal itu bisa menimbulkan kesan seolah-olah dokter swasta boleh menerima gratifikasi.
Sekretaris Biro Hukum dan Pembinaan Anggota IDI, Afrilia, juga mengakui hal yang sama.
Ia memastikan bahwa hal tersebut akan dibahas di internal IDI, untuk dijadikan masukan ke pihak terkait.
"Ini jadi PR (pekerjaan rumah) bagi kami," terangnya.